Adu Kuat Perang Dagang AS vs Cina: Siapa yang Akan Menyerah?

20 hours ago 7

PRESIDEN AS Donald Trump, Rabu, 15 April 2025, meningkatkan serangan tarifnya hingga 245% terhadap Cina. "Bola ada di tangan Cina," kata Trump dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt. "Cina perlu membuat kesepakatan dengan kami. Kita tidak perlu membuat kesepakatan dengan mereka."

Namun, Cina bergeming. Mereka malah menjawab, “Jika AS benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini melalui dialog dan negosiasi, AS harus berhenti memberikan tekanan ekstrem, berhenti mengancam dan memeras, dan berbicara dengan Cina atas dasar kesetaraan, rasa hormat, dan saling menguntungkan," ujar juru bicara kementerian luar negeri Lin Jian, seperti dikutip Times of India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cina sejak awal mengatakan tidak takut untuk berperang, dalam bentuk apa pun. Cina sudah memerintahkan maskapai-maskapai penerbangannya untuk tidak menerima pengiriman jet Boeing dan menghentikan peralatan dan suku cadang pesawat dari perusahaan-perusahaan AS. Layanan pos Hong Kong mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menangani surat-surat yang ditujukan ke AS.

Pemberlakuan tarif 145 persen atas barang impor Cina sudah membuat penjualan produk ke AS menjadi tidak mungkin, apalagi jika Trump benar-benar menaikkannya hingga 245 persen. “Biaya yang harus ditanggung oleh kedua negara akan sangat tinggi," ujar Vina Nadjibulla, wakil presiden riset dan strategi di Asia Pacific Foundation of Canada, kepada Al Jazeera. "Siapa yang akan berkedip lebih dulu tergantung pada siapa yang lebih tahan terhadap rasa sakit dan siapa yang lebih siap," ia menambahkan.

Seberapa Tahan Cina akan Rasa Sakit Itu?

Terlepas dari sikap keras Cina, negara ini menghadapi kerentanan ekonomi yang lebih dalam dibandingkan AS, dan perang dagang yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ekonominya yang bergantung pada ekspor.

Menurut Times of India, meskipun kedua negara sama-sama merasakan guncangan, rasa sakitnya mungkin jauh lebih parah bagi Beijing - paling tidak karena masih bergantung pada konsumen Amerika. Ketika perang tarif di pemerintahan pertamanya, Trump yakin Cina akan kehabisan peluru terlebih dulu.

Ada beberapa faktor yang membuat posisi Cina lebih lemah dibanding Amerika Serikat. Ekonomi Cina sangat bergantung pada ekspor yang menyumbang hampir sepertiga dari PDB. Sekitar 20 persen dari jumlah itu diperoleh dari pasar AS jika rute perdagangan tidak langsung diperhitungkan.

Goldman Sachs memperkirakan bahwa hingga 20 juta pekerjaan di Cina bergantung pada ekspor ini. Pasar domestik tidak mampu menampung produk-produk lokal, pasar global menjadi andalan, terutama ke Amerika. Penurunan mendadak dalam perdagangan dengan Amerika akan memukul lapangan kerja, pertumbuhan, dan pendapatan pemerintah lokal.

Faktor lain adalah ekonomi Cina sudah berada di bawah tekanan, mulai dari deflasi, krisis pasar property, dan lemahnya investasi sektor swasta. Perang tarif ini hanya menambah beban dalam memperbaikinya. Saat ini pertumbuhan Cina sebesar 5,4 persen. Jika perang dagang ini terus berlanjut, diperkirakan akan turun menjadi 2 persen.

Bagaimana dengan Amerika Serikat?

Harry Broadman, mantan asisten perwakilan perdagangan AS dan salah satu kepala negosiator WTO, mengatakan bahwa masih belum jelas apakah Trump ingin menutup defisit perdagangan dengan Cina atau mengakhiri bisnis dengan negara tersebut secara langsung.

Broadman mempertanyakan cara Trump berurusan dengan Perusahaan-perusahaan AS yang membutuhkan barang-barang mereka dari Cina agar pabrik-pabrik mereka dapat beroperasi. “Ini tidak hitam dan putih,” kata Broadman kepada Al Jazeera. "Pasar berlapis-lapis melalui berbagai tahap produksi, Anda memiliki komponen yang berasal dari seluruh dunia. Ekonomi global dipotong-potong secara vertikal, jadi tidak jelas siapa yang menang dan kalah," katanya.

Broadman mengatakan bahwa pendekatan Trump terhadap perdagangan sangat sederhana dan tidak realistis. "Dia jelas seorang yang ahli dalam bidang real estat, tetapi tidak dalam pasar internasional... Cara berpikirnya adalah, 'Bagaimana saya bisa menang dan bagaimana saya bisa membuat lawan saya kalah?" katanya.

Sementara itu, ekonomi AS memasuki perang dagang dalam posisi yang relatif kuat dibandingkan dengan Cina. Beijing telah mempersiapkan perang dagang setidaknya sejak masa jabatan pertama Trump, menurut para analis.

Dexter Tiff Roberts, seorang peneliti senior non-residen di Global China Hub di Atlantic Council mengatakan Pemerintahan Trump telah salah perhitungan bahwa Cina akan segera datang ke meja perundingan dan akan merespons ancaman.

Robert Rogowsky, seorang profesor perdagangan dan diplomasi ekonomi di Middlebury Institute of International Studies di Monterey, California, mengatakan bahwa ia berharap Trump akan berkedip terlebih dahulu.

Ia mengatakan Trump memiliki obsesi yang salah kaprah terhadap tarif. “Dia akan berkedip karena dia berada di bawah tekanan dari kepentingan khusus - kelas kaya yang telah kehilangan banyak sekali kekayaan di pasar saham dan obligasi," kata Rogowsky, seraya menambahkan bahwa gejolak baru-baru ini di pasar keuangan telah merusak basis dukungannya.

Namun, Trump telah berkali-kali menunda kebijakannya. Ia memberi penangguhan terhadap pemberlakuan tarif atas negara-negara lain, kecuali Cina. Pemerintahan Trump mengumumkan akan membebaskan impor teknologi dari pungutan 145 persen terhadap Cina, meskipun kemudian para pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa itu adalah penangguhan sementara dan tarif sektoral sedang dalam proses. Trump juga menyatakan bahwa ia mempertimbangkan pengecualian dari tarif mobil 25 persen.

Ada kemungkinan Trump didorong oleh rasa takut akan kehilangan dukungan dari para eksekutif industri, kata Rogowsky. "Proses [mengalah] dimulai dan akan terus berlanjut sebelum ada yang sampai ke Beijing. Dan Beijing dapat duduk dan menonton," kata Rogowsky, menggambarkan Trump sebagai orang yang "tidak tahu apa-apa."

Kurangnya koherensi kebijakan Trump juga merusak AS di tingkat yang lain, menurut Wei Liang, seorang pakar perdagangan internasional di Middlebury Institute of International Studies.

Fokus mantan Presiden AS Joe Biden terhadap Cina adalah "strategis dan dengan sekutu-sekutunya, tetapi Trump mengasingkan semua orang," kata Liang kepada Al Jazeera.

Dalam jangka pendek, perusahaan-perusahaan multinasional dan negara-negara harus melakukan penyesuaian dan manajemen krisis. “Namun dalam jangka panjang, AS telah merusak hubungan mereka, terutama dalam hal keamanan," kata Liang.

Meskipun sebagian besar negara tidak memiliki alternatif yang nyata terhadap AS - sebuah fakta yang akan mengulur waktu bagi Washington - dalam jangka panjang, negara-negara akan mencoba mengembangkan "strategi US+1 karena AS bukan lagi pasar yang paling dapat diandalkan untuk perjanjian keamanan," katanya.

Jadi, siapa yang akan mengalah terlebih dulu dalam perang ini? Waktu yang akan menjawab.

Read Entire Article
Parenting |