TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berbicara mengenai kinerja industri perhotelan yang merosot, bahkan di masa libur Lebaran. Dia menilai, pemulihan bisnis perhotelan tidak bisa hanya diserahkan kepada pelaku usaha, melainkan perlu intervensi dari pemerintah.
"Kami percaya bahwa pemulihan sektor perhotelan dan pariwisata tidak bisa diserahkan hanya kepada pelaku usaha," ujar Shinta kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Geliat bisnis perhotelan yang lesu pun dikhawatirkan berujung pada badai pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK, kata Shinta, selalu menjadi opsi terakhir bagi dunia usaha. Menurut dia, industri memahami bahwa pemulihan yang inklusif dan berkelanjutan bagi bisnisnya hanya dapat terjadi jika fondasi tenaga kerja tetap terjaga.
Dia menyebut, industri umumnya berupaya keras untuk menghindari PHK selama masih memungkinkan, lantaran sektor ini sangat bergantung pada kualitas SDM. "Kehilangan tenaga kerja yang sudah terlatih tidak hanya berdampak pada operasional saat ini, tetapi juga menjadi hambatan besar dalam proses pemulihan dan pertumbuhan jangka panjang," tutur Shinta.
Di tengah situasi yang serba sulit saat ini, kata dia, industri perhotelan tentu berupaya agar dapat bertahan tanpa harus melakukan PHK. Industri umumnya mengambil langkah efisinsi secara hati-hati agar tenaga kerja dapat tetap dipertahankan.
"Seperti pengurangan biaya non-esensial, rotasi kerja, atau pengurangan jam kerja, agar tenaga kerja tetap dipertahankan," kata dia.
Shinta menambahkan, pada saat yang sama, pelaku usaha juga bisa mulai berinovasi. Misalnya dengan menyasar segmen seperti pekerja jarak jauh dan mengembangkan layanan jangka panjang atau long-stay accommodation. Selain itu, perlu transformasi digital, kolaborasi dengan UMKM lokal serta pelaku ekonomi kreatif juga dinilai penting untuk memperkuat ekosistem usaha.
Dia menyebutkan tiga bentuk intervensi dan dukungan utama pemerintah yang dibutuhkan untuk membangkitkan lagi industri perhotelan. Pertama, kata dia, insentif fiskal dan relaksasi regulasi.
"Pemerintah perlu menyediakan stimulus fiskal seperti keringanan pajak hotel dan restoran, memangkas birokrasi perizinan daerah, serta penundaan pembayaran kewajiban tertentu bagi pelaku usaha yang terdampak," kata Shinta.
Intervensi kedua menurut dia adalah promosi wisata domestik yang terintegrasi. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan dapat bekerja sama mempromosikan wisata secara lebih sistematis dan berbasis data. Dengan demikian, diproyeksikan dapat meningkatkan mobilitas wisatawan domestik, khususnya di luar periode high season.
Ketiga, terkait dengan percepatan program stimulus sosial ekonomi, termasuk Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Shinta, bila dirancang inklusif, MBG juga bisa menghidupkan sektor katering dan perhotelan di daerah.
Dia menekankan, industri perhotelan adalah salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di sektor jasa. Jika sektor ini pulih, maka dampaknya akan terasa luas bagi ekonomi lokal.
"Untuk itu, dibutuhkan sinergi nyata antara dunia usaha dan pemerintah agar industri ini tidak hanya bisa bertahan, tapi juga tumbuh kembali secara sehat dan berkelanjutan," tutur Shinta.
Sebelumnya, sejumlah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di daerah mencatat penurunan okupansi hotel selama libur Lebaran 2025. Misalnya di Kota Batu, Jawa Timur, PHRI mencatat okupansi hotel pada libur Lebaran 2025 sebesar 70 persen. Ketua PHRI Kota Batu Sujud Hariadi mengatakan, okupansi hotel pada libur Lebaran tahun ini lebih rendah jika dibandingkan momen yang sama tahun lalu.
"Okupansi hotel (libur Lebaran) saat ini 70 persen, itu turun kalau dibanding tahun lalu yang mencapai 85 persen," kata Sujud, pada Senin, 7 April 2025, seperti dikutip Antara.
Sedangkan di Surabaya, tingkat okupansi hotel selama masa libur Lebaran 2025 hanya 60 persen. Angkanya turun sekitar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 90 persen.
“Kalau dibandingkan year-on-year, okupansi hotel selama libur Lebaran ini hanya 60 persen, menurun hingga 30 persen dari tahun lalu,” kata Ketua Harian Koordinator Wilayah PHRI Surabaya Puguh Sugeng Sutrisno pada Senin, seperti dikutip Antara.
Puguh mengatakan, penurunan ini dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat. Selain itu, juga akibat kecenderungan untuk mengurangi pengeluaran selama libur Lebaran.
Tingkat okupansi hotel di Kabupaten Serang, Banten juga dilaporkan menurun. Ketua PHRI Kabupaten Serang Yurlena Rachman mengatakan, okupansi hotel di Serang selama libur Lebaran hanya 80 persen.
"Di tahun ini terjadi penurunannya mencapai 20 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hampir 100 persen," kata dia pada Senin, seperti dikutip Antara.