Ekonom: Depresiasi Rupiah Bukan Hanya Disebabkan Faktor Eksternal

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dan pengamat kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan depresiasi rupiah yang menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal yaitu kebijakan tarif impor Amerika Serikat. Buktinya, kata Achmad, negara-negara Asia seperti Vietnam, Filipina, dan India, tidak emgnalami depresiasi seburuk Indonesia.

“Ini bukan sekadar persoalan eksternal, melainkan ketidaksiapan Bank Indonesia dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang tahan banting,” kata Achmad dalam keterangan resminya pada Senin, 7 April 2025. Achmad tidak menampik bahwa faktor-faktor global seperti arus modal internasional, haga komoditas dunia, kebijakan suku bunga bank sentral negara maju, atau tensi perdagangan global memiliki dampak signifikan. Akan tetapi, kata dia, mengkambinghitamkan kebijakan global sebagai penyebab tunggal adalah sebuah penyederhanaan yang bisa menyesatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achmad menilai pelemahan rupiah yang kerap berulang lebih mencerminkan kerapuhan fundamental ekonomi Indonesia. Salah satu masalah, kata dia, adalah defisit transaksi berjalan Indonesia pada 2025 yang diprediksi membengkak di angka 1,18 persen sampai 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto. Dia menyebut defisit ini terutama dipicu oleh ketergantungan impor yang kronis di sektor retail, manufaktur, dan energi. Padahal, kata Achmad, Bank Indonesia dan pemerintah telah diingatkan untuk mempercepat industrialisasi dan diversifikasi energi.

Di lain sisi, ia menyoroti utang luar negeri swasta dan pemerintah yang semakin membengkak. Per Januari 2025, rasio utang luar negeri terhadap PDB berada di angka 30,3 persen dengan jumlah mencapai US$ 427,5 miliar. Menurut Achmad, angka ini menyimpan potensi risiko besar yang layak disebut sebagai 'bom waktu’.

Ia pun menilai strategi Bank Indonesia untuk melakukan intervensi di pasar off-shore atau Non Deliverable Forward (NDF) sebagai kesalahan fatal dalam manajemen risiko. “Seharusnya, Bank Indonesia telah memprediksi bahwa libur panjang akan membuat pasar domestik vakum, sementara pasar global tetap aktif,” kata dia.

Bank Indonesia, kata dia, gagal mengantisipasi arus modal spekulatif. Dia menyebut  arus modal asing ke Indonesia yang bersifat jangka pendek merupakan safe haven buat para spekulan. Namun, aliran dana ini mudah keluar ketika sentimen global memburuk. Sedangkan, menurut Achmad, Bank Indonsia tidak memiliki instrumen memadai untuk membendungnya.

Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Senin, 7 April 2025, Bank Indonesia memutuskan untuk melakukan sejumlah intervensi NDF guna menstabilkan nilai tukar rupiah dari tingginya tekanan global. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menyebut intervensi di pasar off-shore dilakukan Bank Indonesia secara berkesinambungan di pasar Asia, Eropa, dan New York. Langkah lainnya, Bank Indonesia juga akan melakukan intervensi di pasar domestik sejak awal pembukaan pada 8 April 2025 dengan mengintervensi pasar valas serta pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder.

Selain itu, Ramdan mengatakan Bank Indonesia juga akan melakukan optimalisasi instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik. “Serangkaian langkah-langkah Bank Indonesia ini ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah serta menjaga kepercayaan pelaku pasar dan investor terhadap Indonesia,” kata dia dalam keterangan resmi.

Read Entire Article
Parenting |