Hamas Bersedia Gencatan Senjata selama 5 Tahun di Gaza, Ini Imbalannya

11 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Hamas terbuka terhadap kesepakatan untuk mengakhiri perang di Gaza yang akan membebaskan semua sandera Israel dan mengamankan gencatan senjata selama lima tahun, kata seorang pejabat pada Sabtu.Seperti dilansir Channel NewsAsia, pernyataan ini dilontarkan saat negosiator kelompok itu mengadakan pembicaraan dengan para mediator.

Delegasi Hamas berada di Kairo untuk berdiskusi dengan para mediator Mesir mengenai jalan keluar dari genosida Israel yang telah berlangsung selama 18 bulan. Sementara di lapangan, para penyelamat mengatakan serangan Israel menewaskan sedikitnya 40 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir delapan pekan setelah blokade bantuan Israel, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan persediaan makanan dan medis hampir habis.

Pejabat Hamas, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kelompok pejuang Palestina "siap untuk pertukaran tahanan dalam satu gelombang dan gencatan senjata selama lima tahun".

Upaya terbaru untuk menyegel gencatan senjata menyusul proposal Israel yang ditolak Hamas awal bulan ini sebagai "sebagian", dan sebaliknya menyerukan perjanjian "komprehensif" untuk menghentikan perang yang dipicu oleh serangan pada 7 Oktober 2023.

Penolakan tawaran Israel tersebut, menurut seorang pejabat senior Hamas, mencakup gencatan senjata selama 45 hari dengan imbalan pengembalian 10 sandera yang masih hidup.

Hamas secara konsisten menuntut agar kesepakatan gencatan senjata harus mengarah pada berakhirnya perang, penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza, dan lonjakan bantuan kemanusiaan.

Penarikan pasukan Israel dan "berakhirnya perang secara permanen" juga akan terjadi, seperti yang digariskan oleh presiden AS saat itu Joe Biden, di bawah fase kedua gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari tetapi runtuh dua bulan kemudian.

Hamas telah meminta perundingan pada tahap kedua, tetapi Israel menginginkan tahap pertama diperpanjang.

Israel menuntut pengembalian semua sandera yang ditawan dan pelucutan senjata Hamas, yang ditolak kelompok itu sebagai "garis merah".

"Kali ini kami akan menuntut jaminan mengenai berakhirnya perang," kata Mahmud Mardawi, seorang pejabat senior Hamas, dalam sebuah pernyataan.

"Pendudukan dapat kembali berperang setelah kesepakatan parsial, tetapi tidak dapat melakukannya dengan kesepakatan komprehensif dan jaminan internasional."

Kemudian, pejabat senior Hamas Osama Hamdan menegaskan kembali bahwa "setiap usulan yang tidak mencakup penghentian perang secara menyeluruh dan permanen tidak akan dipertimbangkan."

"Kami tidak akan meninggalkan senjata perlawanan selama pendudukan masih berlangsung", katanya dalam sebuah pernyataan.

"RUMAH RUNTUH"

Israel kembali menggempur Gaza pada Sabtu.

Mohammed al-Mughayyir, seorang pejabat di badan penyelamatan pertahanan sipil wilayah itu, mengatakan bahwa jumlah korban tewas telah meningkat menjadi sedikitnya 40 orang.

Di Kota Gaza, di wilayah utara, pertahanan sipil mengatakan serangan terhadap rumah keluarga Khour menewaskan 10 orang dan menyebabkan sekitar 20 orang lainnya terperangkap di reruntuhan.

Umm Walid al-Khour, yang selamat dari serangan itu, mengatakan "semua orang sedang tidur dengan anak-anak mereka" ketika serangan itu terjadi dan "rumah itu runtuh menimpa kami."

Di tempat lain di Gaza, 25 orang lainnya tewas, kata tim penyelamat.

Tidak ada komentar langsung dari militer Israel mengenai serangan terbaru tersebut, tetapi dikatakan bahwa "1.800 target teror" telah diserang di seluruh Gaza sejak operasi militer dilanjutkan pada 18 Maret.

Militer menambahkan bahwa "ratusan teroris" juga tewas.

Qatar, Amerika Serikat, dan Mesir menjadi perantara gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari dan memungkinkan lonjakan bantuan, di samping pertukaran sandera dan tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel.

Karena Israel dan Hamas tidak sepakat mengenai fase gencatan senjata berikutnya, Israel menghentikan semua bantuan ke Gaza sebelum melanjutkan pengeboman, diikuti oleh serangan darat.

"KEMATIAN SECARA PERLAHAN"

Sejak itu, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas, sedikitnya 2.111 warga Palestina telah tewas, sehingga jumlah korban tewas perang di Gaza menjadi 51.495 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Serangan Hamas yang memicu perang mengakibatkan tewasnya 1.218 orang di pihak Israel, yang sebagian besar juga warga sipil, berdasarkan angka resmi Israel.

Namun, dalam sebuah wawancara, mantan menteri pertahanan Yoav Gallant mengakui bahwa sejumlah korban tewas pada hari itu dibunuh oleh Helikopter Apache Israel dalam Arahan Hannibal. Perintah itu dimaksudkan agar tidak ada warga Israel yang diculik hidup-hidup oleh musuh.

Hamas juga menculik 251 orang, 58 di antaranya masih ditahan di Gaza, termasuk 34 orang yang menurut militer Israel telah tewas karena pengeboman mereka sendiri.

Israel mengatakan operasi militer tersebut bertujuan untuk memaksa Hamas membebaskan tawanan yang tersisa.

Pada Jumat, Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengatakan dapur umum yang memasok makanan di Gaza "diperkirakan akan kehabisan makanan dalam beberapa hari mendatang".

Pada Sabtu, terlihat antrean orang-orang yang menunggu makanan di depan dapur umum.

"Tidak ada makanan di dapur umum, tidak ada makanan di pasar... Tidak ada tepung atau roti," kata penduduk Gaza utara, Wael Odeh.

Seorang pejabat senior PBB, Jonathan Whittall, mengatakan warga Gaza "sedang sekarat".

"Ini bukan hanya tentang kebutuhan kemanusiaan tetapi juga tentang martabat," kata Whittall, kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di wilayah Palestina, kepada wartawan.

Read Entire Article
Parenting |