TEMPO.CO, Jakarta - Lulusan sarjana dengan disabilitas penglihatan atau tunanetra kerap kesulitan mendapatkan kerja. Sebabnya, kompetensi mereka diragukan lantaran tidak bekerja menggunakan fungsi penglihatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bagian Ketenagakerjaan Yayasan Pendampingan Tunanetra Mitra Netra, Aria Indrawati, mengatakan untuk mendapatkan akses pekerjaan yang lebih luas, penyandang tunanetra perlu melakukan diversifikasi bidang studi saat mereka menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Selama ini, kata dia, sebagian besar penyandang tunanetra hanya berfokus untuk menimba ilmu di bidang ilmu pendidikan. Jurusan ilmu pendidikan banyak diambil penyandang tunanetra lantaran mereka atau keluarganya mengira dunia kerja yang dapat digeluti disabilitas penglihatan hanya mengajar. Padahal keliru.
"Bahkan sampai ada orang tua yang menyarankan anaknya ambil ilmu pendidikan saja, padahal anaknya berminat di bidang informasi teknologi," ujar Aria di sela acara dengan tema "Orientasi Dunia Kerja dan Karir Bagi Mahasiswa Tunanetra" di Hotel Mercure Simatupang pada Sabtu, 26 April 2025. "Akhirnya setelah lulus, mereka juga tidak punya passion di bidang itu."
Penyandang disabilitas netra yang salah mengambil jurusan karena ingin memenuhi keinginan orang tuanya, akhirnya mengabaikan kompetensi mereka yang sebenarnya berminat di bidang teknologi, misalnya. "Sehingga keinginan anak di bidang IT (informasi dan teknologi) tidak terpakai dan terasah," kata Aria.
Penyandang disabilitas netra, kata dia, sebenarnya mempunyai peluang besar untuk bergelut di bidang ilmu hukum. Bidang ilmu tersebut, kata dia, tidak memerlukan kemampuan akses gambar. Apalagi peluang kerja di bidang ilmu hukum juga sangat luas, tidak terbatas hanya menjadi pengacara.
Tunanetra yang mendalami ilmu hukum bisa menjadi staf ahli kebijakan, legal drafter, paralegal, notaris, quality control, jurnalis, hingga dosen. Selain itu, penyandang tuna netra juga sebenarnya mempunyai peluang di bidang ilmu matematika.
"Bahkan bidang matematika menjadi sebuah kemudahan tersendiri bagi mahasiswa tunanetra."
Balqis, mahasiswa tunanetra yang mengambil jurusan sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta, menjadi contoh mahasiswa yang mengambil jurusan sesuai dengan minatnya. Ia memutuskan mengambil jurusan sastra Indonesia lantaran menyukai berbagai buku dan tulisan dari penulis Indonesia.
Mahasiswi semester dua di UNJ itu bercita-cita bisa menghasilkan buku sendiri. "Makanya sekarang aku lagi belajar tentang morfologi, dan banyak membaca buku-buku jadul seperti bukunya N.H. Dini, atau Pramoedya Ananta Toer," ujar perempuan berusia 19 tahun itu. "Itu bahasa yang digunakan bagus banget, aku suka sekali membacanya."
Selain Balqis, mahasiswi lain yang sudah melakukan diversifikasi bidang studi perkuliahan adalah Aqila, yang mengambil jurusan komunikasi. Ia berharap jurusan illmu komunikasi dapat mendukung pekerjaan kreatifnya sebagai penyulih suara.
"Ini guna mendukung kerja kreatif independen aku sebagai penyulih suara. Sudah ada beberapa proyek dari kementerian yang menjanjikan dan memberikan peluang rezeki bagi aku," kata Aqila.