TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung, menjadi sorotan publik setelah beredar di media sosial.
Dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) dokter Priguna Anugerah Pratama (31 tahun) telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polda Jawa Barat sejak Maret 2025.
Istilah kekerasan seksual dan pelecehan seksual kerap disematkan terhadap kasus semacam itu. Namun jangan salah, kedua istilah itu berbeda pengertiannya secara hukum.
Kekerasan Seksual
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual merupakan segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan dengan unsur paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi, baik kepada wanita maupun pria.
Komnas Perempuan membagi kekerasan seksual ke dalam 15 macam, antara lain bentuk tindakan seksual maupun tindakan untuk mendapatkan seksual secara memaksa, pelecehan seksual secara fisik maupun verbal, mengeksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan serta aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, dan kontrol seksual yang mendiskriminasi perempuan.
Kekerasan seksual diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam Pasal 4 perundang-undangan tersebut, tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual nonfisik dan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Menurut Pasal 5, pelaku perbuatan kekerasan seksual secara nonfisik dapat dipidana paling lama 9 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta. Sementara itu, menurut Pasal 6, perbuatan tindak kekerasan seksual berupa pelecehan seksual fisik mendapatkan hukuman pidana lebih lama, dengan minimal paling lama 4 tahun dan/atau denda Rp 50 juta atas perbuatan seksual secara fisik dengan merendahkan harkat atau martabat seseorang.
Pelecehan Seksual
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun kontak non-fisik yang membuat seseorang menjadi tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental.
Dasar hukum mengenai pelecehan seksual diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP). KUHP memuat pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku pelecehan seksual walaupun belum spesifik mengatur pelecehan seksual sebagai kategori tersendiri.
Dalam pasal 281, diatur bahwa tindakan tidak senonoh di tempat umum mendapat ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan. Dalam pasal 289, dijatuhkan hukuman hingga 9 tahun penjara bagi pelaku perbuatan cabul dengan kekerasan. Sementara itu, pasal 290 mengatur bahwa perbuatan cabul terhadap seseorang yang berdaya atau dalam keadaan tidak sadar, dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.
Pelecehan seksual yang masuk dalam bentuk kekerasan seksual juga diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Menurut Pasal 5, pelecehan seksual secara nonfisik mendapat hukuman penjara maksimal 9 bulan dan/atau denda maksimal 10 juta.
Sedangkan pelecehan seksual fisik diatur dalam Pasal 6. Dalam pasal tersebut, pelecehan seksual dibagi menjadi 3, yakni tindakan merendahkan martabat korban dengan hukuman penjara hingga 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp 50 juta, tindakan mengendalikan korban secara tidak sah dengan hukuman penjara hingga 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp 30 juta, serta penyalahgunaan posisi atau kepercayaan dengan penjara hingga 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp 300 juta.
Titik Nurmalasari, Hendrik Khoirul Muhid, dan Yolanda Agne berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: KKI Cabut Surat Tanda Registrasi Dua Dokter Pelaku Kekerasan Seksual