TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya menetapkan 56 anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai tersangka yang terjaring dalam Operasi Berantas Jaya 2025 pada 9-23 Mei 2025. "Dalam operasi ini kita juga menetapkan 56 orang premanisme yang berkedok ormas," kata Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya, Kombes Pol I Ketut Gede Wijatmika saat konferensi pers di Jakarta, Senin, 26 Mei 2025.
Wijatmika menjelaskan 56 orang tersebut adalah anggota Ormas Pemuda Pancasila (PP) sebanyak 31 orang, FBR (10) dan Trinusa (11). Kemudian BPPKB, GMBI, GRIB Jaya, dan GIBAS masing-masing satu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita tangkap kurang lebih sebanyak 3.599 orang yang terlibat dalam kasus premanisme dan dari jumlah itu 348 orang jadi tersangka," katanya seperti dikutip Antara.
Akhir pekan lalu, Polda Metro Jaya meringkus belasan anggota GRIB Jaya yang menguasai lahan BMKG di Tangerang Selatan, dan sebelumnya menangkap puluhan anggota PP karena meneror vendor parkir RSUD Tangsel.
Dalam operasi itu, Polisi menahan Ketua DPC GRIB Jaya Tangsel dan menetapkan Ketua DPC PP Tangsel sebagai buron.
Ini bukan kasus hukum pertama yang diduga melibatkan anggota Ormas. Sebelumnya di Barito Selatan, GRIB Jaya Kalimantan Tengah menyegel sebuah pabrik karet pada 26 April 2025, karena masalah utang piutang. Penyegelan itu berbuntut ditetapkannya Ketua GRIB Jaya Kalteng sebagai tersangka oleh polisi.
Di Bekasi, dua pimpinan ormas G menjadi tersangka karena menguasai 3 ruko milik seorang warga yang membelinya dari seseorang dengan bukti sertifikat hak milik.
Banyaknya anggota ormas yang diduga terlibat premanisme membuat banyak orang geram. Bahkan Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) pengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat.
"Kami minta pemerintah menindak tegas ormas-ormas yang mengganggu ketertiban, apalagi kemudian meresahkan masyarakat, dan mengevaluasi keterlibatan ormas-ormas yang kemudian berbau premanisme," ujar Puan di Jakarta, Minggu, 25 Mei 2025.
"Kalau memang kemudian itu berbau premanisme, ya segera bubarkan. Jangan sampai kemudian negara kalah dengan aksi-aksi premanisme," katanya menegaskan.
Wijatmika juga mengatakan pelaksanaan operasi ini ditargetkan pada pelaku premanisme dalam berbagai bentuk.
"Premanisme yang dilakukan secara perorangan, premanisme yang berkedok organisasi masyarakat, premanisme berkedok debt collector (penagih utang) dan geng motor yang mengakibatkan timbulnya tawuran," katanya.
Pembubaran FPI
Pemerintah pernah membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Rizieq Shihab, yang lantang menentang pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ormas ini dilarang beraktivitas seperti diumumkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md pada 30 Desember 2020.
Pemerintah dan aparat keamanan mendapat kritik tajam atas pembubaran FPI tersebut, yang kemudian beralih nama menjadi Front Persaudaraan Islam dengan singkatan tetap FPI.
Pemerintah dinilai menggerus kebebasan sipil. "Keputusan ini berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi, sehingga semakin menggerus kebebasan sipil di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
KontraS menilai keputusan pemerintah ini bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. "Khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat," demikian tertulis dalam keterangan resmi.
Waktu itu alasan pemerintah karena FPI sejak 21 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas karena tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang habis masa berlaku. sesuai ketentuan undang-undang ormas.
Landasan Hukum
Masalah keormasan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada 24 Oktober 2017, DPR menerima Perpu ini, sehingga jadilah Undang-Undang Nomor 16/ 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2017tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.
UU Ormas yang baru ini secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas. Hal ini dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan. "UU ini bermasalah dan harus diubah," kata Usman Hamid.
Pembubaran ormas diatur dalam Pasal 60 dan 61. Pasal 60 menyebutkan, Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.
Pasal 61 menyebutkan bahwa: Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas: 1. peringatan tertulis; 2. penghentian kegiatan; dan/atau, 3 pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 21: Ormas berkewajiban: a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi; b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Untuk ormas yang dinilai membuat keresahan, diatur dalam Pasal 59.
Pasal 59 menyebutkan bahwa Ormas dilarang: melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan seperti menguasai lahan/ tempat atau menyegel perusahaan termasuk melanggar pasal 59 dan bisa dijatuhi sanksi pencabutan SKT.
Kritik terhadap Undang-Undang Ormas
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, menurut hukum internasional, sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan. "Yang independen dan netral," ujarnya seperti dikutip Tempo, 1 Januari 2021.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, pun menyoroti UU Ormas, yang dinilainya bermasalah sejak awal.
"UU tersebut menghapus mekanisme pembubaran ormas melalui peradilan yang sesungguhnya diatur dalam UU Ormas lama. UU Ormas baru yang dibentuk dari Perpu Presiden Jokowi ini bermasalah," ujar Feri dalam wawancara dengan Tempo, Rabu, 30 Desember 2020.
UU Ormas tersebut, ujar Feri, juga bertentangan dengan semangat reformasi yang melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. "Gaya pembubaran ormas seperti ini khas Orde Baru. Presiden Gus Dur menentang betul cara-cara pembubaran ormas seperti ini," kata dia