TEMPO.CO, Jakarta - Ukraina berencana mengirim negosiator ke Amerika Serikat pekan ini untuk membahas kesepakatan terbaru yang diusulkan Washington ihwal akses deposit mineral tanah jarang di Ukraina.
Dilansir dari Al Jazeera, Wakil Perdana Menteri Yulia Svyrydenko mengumumkan bahwa sebuah tim akan mengunjungi AS "untuk melanjutkan negosiasi" pada kesepakatan yang kontroversial itu. Kesepakatan tersebut telah menjadi syarat bagi Presiden AS Donald Trump untuk terus mendukung Ukraina saat negara itu memerangi invasi Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trump telah mengklaim bahwa kesepakatan itu, yang akan memberi AS akses istimewa ke sumber daya alam yang berharga, akan mendukung keamanan dan rekonstruksi Ukraina pascaperang. Namun, Moskow terus menunda tawaran Gedung Putih untuk menjadi penengah gencatan senjata.
Svyrydenko menyebut tim Ukraina akan mencakup perwakilan dari berbagai kementerian, termasuk kementerian ekonomi, urusan luar negeri, kehakiman, dan keuangan.
“Dialog ini mencerminkan kepentingan strategis kedua negara dan komitmen bersama kita untuk membangun kemitraan yang kuat dan transparan,” kata Svyrydenko di X pada Senin, 8 April 2025.
Svyrydenko juga menambahkan bahwa para negosiator memiliki tujuan menyelaraskan pemilihan proyek, kerangka hukum, dan mekanisme investasi jangka panjang antara negaranya dengan AS.
Kesepakatan tersebut dipandang penting bagi upaya Kyiv untuk mempertahankan dukungan AS, dengan Trump tampaknya semakin mendekati agenda Moskow dalam pembicaraan gencatan senjata yang telah mengesampingkan Ukraina dan sekutu-sekutunya di Eropa.
Trump mengatakan Washington tidak akan mendukung kehadiran pasukan perdamaian untuk menjamin keamanan Ukraina dalam gencatan senjata. Sebaliknya, ia mengklaim bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan AS yang mengekstraksi mineral di negara itu akan menghalangi agresi Rusia lebih lanjut.
Versi awal kesepakatan tersebut digagalkan setelah pertemuan sengit di Ruang Oval antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Februari lalu.
Pada akhir Maret, Washington memberikan Kyiv draf revisi yang jauh lebih luas daripada versi sebelumnya.
Anggota parlemen Ukraina membocorkan dokumen baru, yang mencakup akses tidak hanya ke mineral tanah jarang tetapi juga ke gas dan minyak. Para kritikus untuk mengecam draf itu dan menyebutnya sebagai pemerasan diplomatik.
Trump melihat kesepakatan itu sebagai cara untuk mendapatkan kembali miliaran bantuan untuk perjuangan Ukraina melawan Rusia.
Namun, Zelensky bersikeras bahwa Kyiv tidak akan mengakui bantuan AS sebelumnya sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali atau menyetujui kesepakatan yang mengancam integrasi masa depan dengan Uni Eropa.
Terpisah juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pada Senin lalu bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mendukung gagasan gencatan senjata di Ukraina. Tetapi dia menambahkan bahwa ada banyak pertanyaan yang menggantung tentang bagaimana hal itu akan berhasil.
Putin sejauh ini menolak proposal gabungan AS-Ukraina untuk gencatan senjata tanpa syarat dan penuh. Dia membuat gencatan senjata parsial yang diusulkan AS di Laut Hitam bergantung pada pencabutan sanksi tertentu dari Barat.
Sekutu Ukraina di Eropa telah memperingatkan AS agar tidak terbuai oleh upaya Moskow untuk menunda kemajuan perdamaian sedangkan Rusia terus membombardir Ukraina.
Presiden Prancis Emmanuel Macron adalah orang terakhir yang menekankan hal tersebut.
"Selama hampir sebulan ini, Rusia tidak hanya menolak menerima gencatan senjata, tetapi juga meningkatkan pembomannya terhadap warga sipil," ujar Macron pada Senin, 7 April 2025 saat berkunjung ke Kairo, Mesir.
"[Sangat] mendesak bagi Rusia untuk menghentikan kepura-puraan dan taktik mengulur waktu serta menerima gencatan senjata tanpa syarat yang diusulkan oleh Presiden Trump," tuturnya.
Dilansir dari NBC News, Trump .Trump telah menyuarakan rasa frustrasinya atas lambatnya perundingan. Pada Maret lalu, Trump mengaku "kesal" dengan Putin, tetapi sejak itu terus mengisyaratkan bahwa hubungannya dengan pemimpin Rusia itu hangat.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan pada Jumat lalu bahwa Trump tidak "akan jatuh ke dalam perangkap negosiasi tanpa akhir" dengan Rusia atas serangannya selama tiga tahun.
“Kita akan segera tahu, dalam hitungan minggu, bukan bulan, apakah Rusia serius dengan perdamaian atau tidak,” ucap Rubio.