SEBUAH serangan mematikan di Kashmir yang dikelola India pada Rabu, 23 April 2025, yang merenggut nyawa 26 orang, telah menghidupkan kembali ketegangan diplomatik yang telah berlangsung lama antara Pakistan dan India.
Di kota wisata Pahalgam, empat militan bersenjata menembaki sekelompok wisatawan, yang merupakan serangan paling mematikan terhadap para wisatawan di wilayah tersebut sejak 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang jurnalis yang berbasis di Kashmir menggambarkan suasana yang "tegang dan penuh dengan kesedihan," mengatakan kepada The New Arab bahwa setelah serangan Pahalgam, rasa takut dan ketidakpastian yang kuat menyelimuti daerah tersebut. Langkah-langkah keamanan telah diintensifkan, dengan lebih banyak pos pemeriksaan yang berkontribusi pada lingkungan yang penuh dengan kecurigaan dan kegelisahan.
India dan Pakistan Saling Tuduh
Pihak berwenang dilaporkan menahan sekitar 1,500 anak muda di seluruh Lembah Kashmir setelah serangan tersebut. Destinasi-destinasi wisata populer menjadi sepi karena banyak pengunjung yang meninggalkan wilayah tersebut.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, bersumpah pada Kamis untuk mengejar para penyerang tanpa henti, dan berjanji untuk melacak dan menghukum mereka yang bertanggung jawab.
Pemerintah India menyatakan bahwa para penyerang memiliki hubungan "lintas batas" dengan Pakistan, menyiratkan adanya tanggung jawab dari negara tetangganya tersebut. Namun, India belum menunjukkan bukti konkret yang menghubungkan Pakistan dengan serangan tersebut, dan Pakistan telah membantah keterlibatannya.
Pakistan menuduh India mengeksploitasi insiden teroris ini sebagai dalih untuk meninggalkan perjanjian yang telah lama mereka hindari. Wakil Perdana Menteri Pakistan menuntut India untuk memberikan bukti atas klaimnya.
Polisi India telah mengidentifikasi tiga orang yang diduga sebagai penyerang, dua di antaranya diyakini sebagai warga negara Pakistan. Kelompok militan The Resistance Front (TRF), sebuah cabang dari Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Pakistan, mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
TRF menyatakan kemarahannya atas apa yang disebutnya sebagai pemukiman lebih dari 85.000 "orang luar" di Kashmir, yang menurut mereka telah menyebabkan perubahan demografis. Kelompok ini juga mengklaim bahwa warga sipil yang terbunuh memiliki hubungan dengan badan-badan keamanan India.
TRF didirikan pada 2019 setelah India mencabut otonomi parsial Kashmir pada Agustus tahun itu.
Aksi Balas Diplomatik Meningkat
India telah menanggapi dengan menurunkan hubungan diplomatik dengan Pakistan melalui berbagai langkah: memanggil diplomat tertinggi Pakistan di New Delhi, menyarankan warga negara India di Pakistan untuk kembali ke rumah, dan memperingatkan warga India agar tidak bepergian ke Pakistan.
Wartawan Kashmir mencatat bahwa generasi muda mengalami kecemasan yang mendalam atas situasi saat ini, menggambarkannya sebagai sesuatu yang asing dan meresahkan.
India juga menutup penyeberangan perbatasan Attari, mengganggu para pedagang kecil dan industri yang bergantung pada perdagangan lintas batas, dan mempengaruhi warga Pakistan yang mencoba untuk pergi setelah serangan tersebut.
Dalam sebuah langkah yang signifikan, India menangguhkan Perjanjian Air Indus, sebuah perjanjian pembagian air penting yang ditengahi oleh Bank Dunia pada tahun 1960, yang telah bertahan dari dua perang. Perjanjian ini mengatur pembagian air dari sistem Sungai Indus, dengan India mengendalikan air dari sungai-sungai di bagian timur tetapi diharuskan untuk mengizinkan Pakistan untuk memiliki akses yang tidak terbatas ke sungai-sungai di bagian barat. Pakistan sangat bergantung pada air ini untuk pembangkit listrik tenaga air dan irigasi.
Pakistan mengutuk tindakan pembalasan India, termasuk penutupan wilayah udara dan penutupan perbatasan, dan memperingatkan bahwa setiap upaya untuk mengalihkan pasokan air akan dianggap sebagai tindakan perang.
Air India mengumumkan pengalihan rute beberapa penerbangan antara India dan Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah karena blokade wilayah udara.
Pakistan menangguhkan semua visa di bawah Skema Pembebasan Visa SAARC dan menginstruksikan warga negara India yang berada di negara ini di bawah skema tersebut untuk pergi dalam waktu 48 jam. Pakistan juga menyatakan Penasihat Pertahanan, Angkatan Laut dan Udara India di Islamabad sebagai persona non grata.
Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, mengkritik langkah India sebagai "tindakan sepihak, tidak adil, bermotif politik, sangat tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki dasar hukum."
Serangan ini telah memicu protes di kedua negara, dengan warga Pakistan berunjuk rasa menentang ancaman India, dan demonstrasi di New Delhi yang mengutuk "terorisme Islam".
Kabar terbaru menyebutkan tentara India terlibat baku tembak singkat dengan tentara Pakistan di sepanjang perbatasan mereka di wilayah Himalaya di Kashmir.
Sengketa Kashmir: Konflik yang Telah Berlangsung Lama
Dalam situs Council on Foreign Relation, India dan Pakistan disebut terjebak dalam persaingan sengit atas Kashmir sejak kedua negara ini memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Inggris pada 1947. Pusat dari perselisihan ini adalah bekas negara bagian Jammu dan Kashmir, sebuah wilayah dengan penduduk mayoritas Muslim tetapi diperintah oleh seorang Maharaja Hindu pada saat pemisahan.
Ketika India Britania terpecah, Maharaja pada awalnya ingin tetap merdeka. Akan tetapi, sebuah pemberontakan di distrik-distrik barat dan sebuah invasi oleh milisi-milisi kesukuan Pakistan memaksanya untuk mencari bantuan militer dari India. Sebagai gantinya, ia menandatangani sebuah instrumen aksesi, menjadikan Kashmir sebagai bagian dari India.
Aksesi ini memicu perang pertama antara India dan Pakistan, yang berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1949. Wilayah ini dibagi menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai Garis Kontrol (LOC), dengan India menguasai sekitar dua pertiga dari wilayah ini dan Pakistan menguasai sisanya. Akan tetapi, kedua negara terus mengklaim seluruh wilayah tersebut sebagai milik mereka.
Bagi Pakistan, Kashmir yang mayoritas berpenduduk muslim dipandang sebagai perluasan alami dari wilayahnya, yang mencerminkan pendirian negara tersebut sebagai tanah air bagi umat Islam. India, meskipun mayoritas beragama Hindu, selalu menekankan identitasnya yang sekuler dan multietnis, dan memandang Kashmir sebagai bagian penting dari visi tersebut. Selama beberapa dekade, klaim-klaim yang saling bersaing ini telah memicu tiga perang besar (1947, 1965, dan 1999) dan berbagai pertempuran kecil, dengan konflik yang secara berkala meningkat ke tingkat yang berbahaya, terutama karena kedua negara memiliki senjata nuklir.
Konflik ini semakin diperumit dengan adanya aspirasi yang beragam di dalam Kashmir sendiri. Meskipun beberapa wilayah, termasuk Jammu dan Ladakh, lebih memilih untuk tetap bersama India, Lembah Kashmir yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah menyaksikan gerakan-gerakan yang kuat untuk merdeka atau bersatu dengan Pakistan. Sementara itu, wilayah-wilayah yang dikelola oleh Pakistan seperti Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan memiliki ambisi politik mereka sendiri.
Upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut, termasuk intervensi PBB dan proposal untuk melakukan plebisit, telah gagal, membuat wilayah ini terpecah dan dimiliterisasi. Situasi ini tetap tidak stabil, dengan kekerasan yang sedang berlangsung, serangan militan, dan tindakan keras politik yang terus memakan korban jiwa dan memicu permusuhan antara India dan Pakistan.