Iftitah Sulaiman soal Proyeksi Ekonomi dari Transmigrasi Rempang: Saya Tak Bisa Sesumbar

7 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara mengatakan program transmigrasi lokal bagi warga terdampak Rempang Eco City dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Ia mengklaim program ini bukan sekadar program memindahkan penduduk. Pemerintah akan kawasan transmigrasi yang dilengkapi dengan tempat tinggal, ketersediaan lapangan kerja, serta adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan. 

Melalui program transmigrasi, Iftitah menargetkan peningkatan perekonomian masyarakat. “Kalau angka, saya tidak bisa sesumbar. Yang pasti, tentu kami ingin yang setinggi-tingginya,” kata dia kepada Tempo usai kunjungan ke Rempang pada Senin, 31 Maret 2025.

Melalui program transmigrasi, ia berencana memberi pendampingan kepada masyarakat. Ia juga akan memberi bantuan kapal berukuran 30 GT kepada nelayan yang bersedia mengikuti program ini. Dengan kapal besar, Iftitah berharap nelayan Rempang bisa melaut lebih jauh dan memperoleh hasil lebih banyak. Dengan begitu, pendapatan bisa meningkat berkali lipat.

Saat ini, menurut dia, nelayan Rempang setidaknya memiliki pendapatan Rp 200 ribu dari sekali melaut menggunakan kapal kecil. Kegiatan melaut itu pun biasanya dilakukan selang-seling sehingga siklusnya hanya 15 kali dalam sebulan. “Berarti, pendapatan sekitar Rp 3 juta sebulan,” ujarnya.

Bila nelayan menggunakan kapal berukuran 30 GT, nelayan bisa melaut lebih jauh, lebih lama, dan berkelompok. Bila ada 10 orang melaut selama sepekan dan menghasilkan Rp 30 juta, Iftitah berhitung, nelayan bisa mengantongi Rp 3 juta per orang setiap pekan. Bila melaut sebanyak tiga hingga empat kali per bulan, pendapatan pun ia perkirakan mencapai minimal Rp 9 juta.

“Hitungan saya, akan ada peningkatan tiga sampai empat kali lipat kalau kapalnya besar,” ujar Politikus Partai Demokrat itu.

Di sisi lain, ia menyadari rencana ini bukan rencana mudah. Ia tahu, tidak semua nelayan Rempang mau atau tertarik. “Itu yang saya sebut dengan rasa. Ada orang yang dapat sedikit sudah cukup, ada yang rajin lembur untuk terus meningkatkan kesejahteraan,” katanya.

Karena itu, ia tidak mau sesumbar soal dampak ekonomi yang bisa didapat dari program transmigrasi. “Tidak bisa dipukuul rata, melalui transmigrasi akan dapat Rp 30 juta,” kata dia.  

Sebelumnya, ia juga menyatakan tidak akan memaksa warga Rempang untuk ikut transmigrasi. Menurut dia, transmigrasi harus dilakukan secara sukarela. Karena itu, dalam merealisasikan rencananya, Iftitah baru akan memulai program transmigrasi untuk 68 keluarga yang telah bersedia direlokasi dan kini tinggal di hunian tetap di Tanjung Banon. Program akan ia mulai setelah penetapan Kawasan Transmigrasi Rempang. Purnawirawan TNI AD itu optimistis warga lain akan tertarik ikut setelah melihat dampaknya.

“Kembali lagi, kesukarelaan itu menurut saya pengertiannya dalam. Itu adalah makna bahwa hidup adalah pilihan,” kata dia.

Ia menggagas transmigrasi lokal seiring mandeknya Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di Kota Batam akibat konflik agrarian. Hingga kini, proyek tersebut memang masih mendapat penolakan warga yang tidak mau digusur dari tempat tinggalnya. Iftitah optimistis transmigrasi lokal bisa menjadi jalan keluar.

Ia pernah menyampaikan bahwa Pulau Rempang dirancang sebagai kawasan transmigrasi karena ada potensi industri pasir silika yang bisa dibangun. Terlebih, sudah ada investor yang siap berkolaborasi, yakni Xinyi Group, dengan estimasi nilai investasi awal Rp 198 triliun. Ia mengklaim penataan Kawasan Transmigrasi Rempang akan bermanfaat untuk masyarakat lokal. Terlebih, menurut dia, ada potensi penciptaan lapangan kerja mulai dari 57 ribu hingga 85 ribu orang dari industri tersebut. Iftitah memastikan para transmigran bisa terserap menjadi tenaga kerja. 

Akan tetapi, rencana ini menuai kritik. Ekonom sekaligus Direktur Next Policy Yusuf Wibisono berpendapat bahwa transmigrasi lokal warga Rempang tak ada bedanya dengan relokasi yang dipaksakan. Ia menyebutnya sebagai wajah kelam pembangunan. Menurut dia, narasi kesejahteraan hanya menjadi jargon dan instrumen pencitraan politik. Sementara, kebijakan pemerintah justru mereproduksi kemiskinan secara massif dan permanen.

“Perampasan tanah dan ruang hidup rakyat adalah kasus paling umum dalam reproduksi kemiskinan secara massal.” kata Yusuf kepada Tempo, Jumat, 4 April 2025. 

Bila pemerintah benar-benar ingin menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, menurut Yusuf, pemerintah seharusnya menghormati dan melindungi hak warga Rempang atas tanahnya. Ruang hidup rakyat harus dijaga dan dikembangkan dengan menurunkan biaya transaksi yang mereka tanggung. Misalnya, melalui kebijakan tata ruang yang menjamin sumber penghidupan rakyat, pembangunan infrastruktur yang membuka keterpencilan hingga kebijakan industrialisasi yang bertumpu pada keunggulan ekonomi rakyat.

“Pemerintah seharusnya melindungi penduduk lokal untuk tetap berada di tanah mereka dan menjadikan mereka sebagai subjek pembangunan,” kata Yusuf.

Pilihan Editor: Celios Sebut Tak Ada Urgensi Program Transmigrasi Lokal Warga Terdampak Rempang Eco City

Read Entire Article
Parenting |