Masyarakat Sipil: Ironis, Tak Ada Perempuan di Pimpinan Komisi VIII DPR

7 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan menyoroti keterwakilan perempuan di DPR yang tidak kunjung mencapai target kuota gender sebesar 30 persen. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mikewati Vera Tangka berpendapat bahwa calon legislatif perempuan memiliki tantangan ekonomi, sosial, politik, maupun psikologis tersendiri.

Ia menyinggung data Westminster Foundation for Democracy (WFD) yang menunjukkan tren 'domestikasi perempuan' dalam politik. Istilah itu merujuk pada kondisi perempuan yang kerap ditempatkan oleh partai politik di alat kelengkapan seperti komisi dan badan yang mengurusi isu-isu perempuan. “Ironisnya, di periode ini, tidak ada perempuan di jajaran pimpinan Komisi VIII yang mengurusi isu agama, perempuan, sosial, dan anak,” ujar Mikewati dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 25 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia memaparkan, sebanyak 56 persen atau 56 dari 126 anggota legislatif perempuan di DPR RI periode 2019–2024 ditempatkan di Komisi VIII, IX, dan X. Ketiga komisi tersebut masing-masing mengurusi bidang perempuan, anak, dan keagamaan; kesehatan dan ketenagakerjaan; serta pendidikan, budaya, dan kepemudaan.

Kemudian pada periode 2024–2029, hal yang sama kembali terjadi. Sebesar 47 persen atau 60 dari 129 anggota legislatif perempuan ditumpuk di tiga komisi tersebut ditambah Komisi VII yang kini menaungi urusan ekonomi kreatif dan UMKM.

Menurut Mikewati, domestikasi ini juga terjadi di tingkat pimpinan DPR. Pada periode 2019–2024, perempuan menduduki 15 persen atau 8 dari 55 kursi pimpinan komisi. Namun, sekitar 75 persen atau 6 dari 8 perempuan tersebut didapuk sebagai pimpinan di Komisi VIII, IX, dan X. Pada periode 2024–2029, dengan jumlah komisi yang kini bertambah menjadi tiga belas, perempuan menduduki 22 persen atau 14 dari 65 kursi pimpinan. Namun, sebanyak 65 persen atau 9 dari 14 perempuan ditempatkan di Komisi VII, VIII, IX, dan X.

Koalisi menilai keterwakilan perempuan dalam politik sebagai hal yang penting. Pencapaian keterwakilan ini, kata Mikewati, bisa dilakukan melalui upaya reformasi kebijakan yang dapat menciptakan ruang aman dan kesempatan setara bagi perempuan di politik. Salah satu rekomendasi dari Koalisi ialah pembentuk undang-undang harus memastikan pemilihan umum atau pemilu yang inklusif melalui penguatan regulasi afirmatif bagi perempuan. 

“Hal ini dapat dicapai dengan persyaratan kehadiran representasi minimal 30 persen perempuan sebagai peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun dalam tim seleksi,” ujar Mikewati. Tak hanya itu, ia juga menekankan perlunya perhatian khusus bagi keterwakilan penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya. 

“Kami juga menekankan urgensi dukungan partai politik untuk melakukan pendidikan dan kaderisasi terhadap para perempuan yang akan berkontestasi dalam pemilu,” kata Mikewati. Dukungan tersebut, ia melanjutkan, dapat diperkuat melalui kebijakan pengalokasian minimal 30 persen dana negara yang diterima partai politik untuk kaderisasi dan rekrutmen perempuan politik oleh partai.

Read Entire Article
Parenting |