Orang Indonesia Dinilai Masih Setengah Hati Ikuti Gaya Hidup Sehat

23 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Kedokteran Komunitas, Ray Wagiu Basrowi menilai bahwa perilaku masyarakat Indonesia masih banyak yang berlawanan dengan konsep gaya hidup sehat yang sebenarnya. Bila dilihat dari berbagai ilmu kesehatan, kata Ray, orang Indonesia sudah banyak paham. Namun banyak yang enggan mengaplikasikannya secara teratur. Salah satu alasannya adalah karena ada banyak tantangan yang dialaminya. "Orang Indonesia sudah percaya vaksin itu bisa mencegah penyakit, olahraga bisa turunkan risiko diabetes dan hipertensi, tapi perilaku orang Indonesia masih banyak yang berlawanan dengan konsep kesehatan yang sebenarnya," kata Ray pada peluncuran bukunya berjudul "Sehat Setengah Hati - Interpretasi Paradoks Health Belief Model" pada 28 Mei 2025. 

Ray memberikan salah satu contoh yang cukup sering dilihatnya. Misalnya dalam hal pemberian ASI ekslusif pada bayi usia 0-6 bulan. Menurut Ray, sudah banyak sekali ibu hamil yang tahu tentang pentingnya ASI eksklusif. Mereka bahkan sudah berniat sejak hamil untuk memiliki komitmen memberikan ASI kepada buah hati. Namun ketika mereka sudah harus bekerja setelah cuti melahirkan, tantangan mulai terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misalnya para ibu sulit mendapatkan izin dari atasan untuk memompa ASI, pekerjaannya terlalu banyak sehingga ia tidak ada waktu untuk memompa ASI. Ada pula tantangan soal tidak adanya ruang laktasi. Tantangan lain yang kerap dialami juga tidak adanya dukungan dari lingkungan keluarga dan kolega untuk memberikan ASI Eksklusif pada bayi. "Walaupun tahu berbagai manfaat baik ASI Eksklusif, tapi kepercayaan menyusui itu gagal karena tidak dapat dukungan dari lingkungannya," kata Ray. 

Kegiatan menyusui menjadi salah satu hal utama dalam pemberian gizi anak. Kegiatan ini pun bisa berdampak pada pencegahan stunting yang menjadi salah satu agenda besar pemerintah. "Memiliki keyakinan pribadi yang besar saja tidak cukup (untuk mengikuti anjuran gaya hidup sehat). Penting ada dukungan dari lingkungan yang ikut mendorongnya," kata Ray. 

Ia mencontohkan dalam hal kasus ASI eksklusif, seharusnya pemerintah daerah selaku pemberi kebijakan menyiapkan aturan-aturan yang inklusif untuk para wanita ini. Kebijakan dari pemimpin perusahaan pun sebenarnya bisa membantu agar para ibu ini bisa memberikan ASI eksklusif. "Misalnya dengan memberikan cuti melahirkan 6 bulan, bukan hanya 3 bulan saja," kata Ray mencontohkan. 

Tindakan ogah-ogahan orang Indonesia mengaplikasikan gaya hidup sehat tentu bisa berdampak secara nasional. Dalam hal ASI ekslusif misalnya, angka stunting akan tetap naik bila para ibu tidak memberikan asupan optimal serta ASI ekslusif kepada anak-anak mereka. Selain itu, berbagai program kesehatan dari pemerintah lain pun seperti Cek Kesehatan Gratis, Gerakan Masyarakat Hidup Sejat, hingga secreening penyakit tidak menular, hingga makan bergizi gratis untuk anak sekolah tidak akan berhasil bila pemahaman soal pentingnya kesehatan tidak didalami oleh masyarakat. 

Hal ini ditambah dengan manfaat menjaga kesehatan akan terlihat lama. Misalnya dampak kmembatasi gula garam lemak hanya akan terlihat beberapa tahun mendatang. Mereka yang menjaga keseimbangana asupan itu dengan baik akan terhindar dari berbagai penyakit tidak menular di usia senja. Lalu soal stunting pun begitu, ketika asupan tidak dijaga di usia bayi, nanti stunting, khususnya masalah optimalisasi otak akan terlihat saat anak di duduk di sekolah. "Kesehatan itu dampaknya tidak bisa terlihat langsung, tapi investasi jangka panjang. Karena tidak bisa dirasakan dalam jangka waktu pendek, akibatnya tidak banyak orang yang mau dengan mudah mengikutinya," kata Ray. 

Menurut Ray, sejumlah penelitian perilaku kesehatan merekomendasikan penerapan intervensi pada pemaknaan kesehatan atau health belief model untuk membantu efektivitas program kesehatan. “Sebesar apa pun investasi negara dalam bidang kesehatan akan sia-sia bila masyarakat tidak merasa rentan, tidak yakin terhadap manfaatnya, atau terus merasa ‘masih muda, masih sehat, belum perlu periksa.’ Inilah mengapa Health Belief Model perlu diintegrasikan ke dalam setiap strategi komunikasi dan implementasi program kesehatan,” katanya. 

Menurut Ray, health belief model - yang telah digunakan secara global sejak 1950-an menekankan enam dimensi psikologis: perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, dan self-efficacy. Dalam terbarunya ini, Ray menguraikan bagaimana faktor-faktor tersebut gagal dijawab dalam berbagai program preventif, mulai dari vaksinasi, pemeriksaan gula darah, hingga gaya hidup sehat. Health Belief Model yang disampaikan lewat buku ini relevan dengan program kesehatan saat ini. Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis dan Deteksi Dini PTM akan lebih efektif namun sayangnya banyak masyarakat merasa “belum perlu” karena tidak merasakan gejala.

Ray mengatakan agar mengajak masyarakat tergerak untuk menngikuti berbagai anjuran kesehatan, adalah komunitas dan komunitasi yang efektif. Komunitas ini bisa dimulai dari komunitas kecil atau bahkan sehingga pemerintah daerah. Bila komunitas di sekitar seseorang aktif melakukan gaya hidup sehat, ia yakin orang yang melakukan sebaliknya akan merasa terasing. Sehingga ia pun akan ikut berubah mengikuti kebiasaan masyarakat mayoritas mereka. "Makanya penting juga untuk berada di lingkungan yang baik, dan jauhi teman toxic," katanya.

Menteri Kesehatan 2014-2019 Nila F Moeloek mengatakan memberikan intervensi kepada masyarakat Indonesia, ada banyak tantangannya. Salah satu tantangan utama adalah keberagamannya. Indonesia memiliki banyak sekali suku dan budaya, akses pendidikan masyarakat pun masih belum setara. Akibatnya, pemahaman mereka soal isu kesehatan pun masih beragam. Nila menyarankan agar kampanye kesehatan dilakukan dengan mengutamakan latar belakang faktor budaya oleh masyarakat. 

Read Entire Article
Parenting |