TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung memeriksa 12 saksi baru dugaan suap hakim dalam vonis lepas perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 21 April 2025.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara yang dimaksud," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar dalam keterangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, 12 saksi yang diperiksa Jampidsus Kejagung hari ini, yaitu: ED (sopir tersangka Djuyamto); FS dan VA (staf Ariyanto Arnaldo Law Firm); AAND, JS, dan RL (mitra justicia kuasa hukum perusahaan minyak goreng); dan MBHA (Head Corporate Legal PT Wilmar).
Selain itu ada SN (kamerawan JAK TV); TB (direktur pemberitaan JAK TV); IWN (kamerawan JAK TV); RYN (kamerawan JAK TV); dan SMR (Direktur Operasional JAK TV).
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Empat di antaranya merupakan hakim, yaitu Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Saat perkara ini disidangkan, Arif menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat. Ia yang menunjuk tiga hakim lain untuk memimpin persidangan.
Sementara empat tersangka lain adalah Muhammad Syafei, Head of Social Security Legal Wilmar Group; dua pengacara korporasi, Ariyanto dan Marcella Santoso; serta mantan panitera PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan Wahyu Gunawan merupakan pihak yang pertama kali menawarkan pengurusan perkara kepada Ariyanto. Dalam tawarannya, Wahyu menyebut bahwa jika perkara tidak diurus, hakim bisa menjatuhkan vonis maksimal atau bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa.
Tawaran itu diteruskan Ariyanto kepada rekannya, Marcella Santoso. Marcella lalu menyampaikan kepada Syafei dalam pertemuan di rumah makan Daun Muda di Jakarta Selatan. Syafei, menurut penyidik, menyatakan Wilmar bersedia menyediakan dana sebesar Rp 20 miliar untuk mengupayakan putusan bebas.
Namun, dalam pertemuan lanjutan yang melibatkan Ariyanto, Wahyu, dan Arif di restoran lain di kawasan Kelapa Gading, Arif menyebut biaya harus dinaikkan tiga kali lipat menjadi Rp 60 miliar. Ia menyatakan perkara itu tidak bisa diputus bebas, tapi bisa diarahkan ke putusan ontslag.
Jaksa menyebut Syafei berperan menyiapkan uang suap sebesar Rp 60 miliar agar majelis hakim menjatuhkan putusan ontslaag. Putusan tersebut demi membebaskan ketiga korporasi dari kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara senilai sekitar Rp 17 triliun.
Vonis dijatuhkan pada 19 Maret 2025. Kini, Kejaksaan sedang mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Hingga kini, Kejaksaan Agung belum mengonfirmasi apakah dana Rp 60 miliar tersebut seluruhnya berasal dari Wilmar Group, atau merupakan iuran bersama dengan dua korporasi lainnya, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.