CANTIKA.COM, Jakarta - Dalam edisi spesial Hari Ibu 2025, CANTIKA mengusung tema “Reconnect to Connect” sebagai ajakan bagi para ibu untuk kembali menyapa dan terhubung dengan diri sendiri. Lewat tema ini, kami mendorong perempuan untuk mengenali ulang siapa dirinya di luar berbagai peran yang dijalani, memberi ruang bagi kebutuhan emosional, serta membuka kembali pintu mimpi-mimpi yang sempat tertunda.
Pasalnya, rutinitas dan tanggung jawab rumah tangga, termasuk mengurus anak dan mendampingi pasangan kerap membuat perempuan menomorduakan diri sendiri dan menunda banyak hal yang sebenarnya berarti, termasuk mimpi.
Dalam kesempatan ini, CANTIKA berbincang dengan tiga ibu dengan latar belakang berbeda, namun berbagi perasaan yang sama. Mereka adalah Karina Nastasia, ibu satu anak yang juga bekerja di divisi sumber daya manusia perusahaan alat berat LiuGong Indonesia; Gina Shabrina, ibu tiga anak yang menjalankan agensi digital dari rumah; serta Kartika Trianita, ibu satu anak yang tengah merintis jalan baru sebagai konselor karier.
Bagi ketiga ibu ini, perjalanan menjadi seorang ibu justru membuka ruang baru untuk kembali meraih cita-cita dengan cara berbeda. Selama ada keberanian dan dukungan yang tepat, seorang ibu tetap bisa kembali bermimpi tanpa meninggalkan perannya sebagai pusat keluarga. Sebermula takut bermimpi, perlahan ketakutan ternyata bukan pertanda ketidakmampuan, melainkan batas yang menunggu untuk dilampaui.
Bagaimana awal mula kamu terpikir ingin kembali meraih mimpi?
Karina
Setelah melahirkan, aku sempat memutuskan untuk resign dari pekerjaan dan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya selama tiga bulan. Di masa itu, saya fokus mengurus rumah dan anak. Tapi, suamiku justru melihat sesuatu yang mungkin luput dari pandanganku seperti potensi dan mimpi yang masih ingin ingin aku gapai. Suamiku menyemangati untuk tidak berhenti bermimpi dan terus melangkah. Dari situlah, aku kembali mencari peluang kerja yang sesuai dengan kondisi sekarang.
Salah satu pertimbangan terbesarku adalah minimnya tuntutan perjalanan ke luar kota, jadi aku tidak harus sering meninggalkan anak dan suami. Dengan dukungan penuh dari suami, aku justru bisa meraih berbagai pencapaian di perusahaan barunya. Bagiku, restu, doa, dan dukungan pasangan bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama. Kalau bukan karena dukungan dan doa suami, mungkin aku enggak akan bisa sampai di titik ini.
Sebelumnya, aku enggak pernah membayangkan dirinya bisa bepergian ke luar negeri, apalagi untuk urusan pekerjaan. Mimpi itu terasa terlalu jauh, bahkan menakutkan untuk kupikirkan. Namun kenyataan berkata lain. Kesempatan pergi ke Cina akhirnya datang, dan aku sendiri mengaku terkejut dengan pencapaian tersebut.
Satu hal yang penting, perempuan, sekaligus ibu dan istri, tetap bisa meraih mimpi bahkan mimpi yang sebelumnya enggak berani aku ucapkan. Ketakutan ternyata bukan pertanda ketidakmampuan, melainkan batas yang menunggu untuk dilampaui.
Karina Nastasia, Human Capital LiuGong Indonesia. Foto: Cantika/Ricky Nugraha
Gina
Awalnya, aku tidak pernah berniat berhenti bekerja. Tapi ketika sudah memiliki tiga anak, muncul perasaan yang sulit aku abaikan. Membayangkan harus menitipkan anak-anak kepada orang lain, bahkan kepada orang tua atau mertua sendiri, membuat hatiku diliputi rasa bersalah.
Aku ingin hadir penuh, menanamkan nilai-nilai kehidupan sejak dini, bukan sekadar bertemu anak-anak di malam hari setelah lelah bekerja. Aku ingin benar-benar ada buat mereka
Keputusan aku untuk berada di rumah bukan berarti menurunkan standar hidup. Justru sebaliknya, aku mulai memandang waktu sebagai aset yang jauh lebih mahal dari sebelumnya. Jika harus kembali bekerja, maka nilainya harus sepadan dengan waktu yang aku korbankan bersama anak-anak.
Daripada menerima pekerjaan dengan nilai yang sama seperti sebelumnya namun harus meninggalkan tiga anak, aku memilih mencari jalan tengah. Solusi yang membuat aku tetap bisa berkarya dari rumah, tanpa mengorbankan kebahagiaan dan peran sebagai ibu.
Kartika
Saat mulai merintis usaha mandiri, membuat aku merasa senang karena bisa mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh ibuku dulu, yaitu menjadi seorang yang bermanfaat. Sebenernya dari dulu aku memang bercita-cita jadi pengusaha dan suka berkegiatan di luar ruangan sih, jadi kalau punya usaha sendiri biar enggak kerja terus-terusan, ingin bisa menciptakan lapangan pekerjaan.
Bagaimana kamu menghadapi pandangan orang lain dalam proses berkarya?
Kartika
Kebetulan aku aktif bergabung dengan komunitas bersama ibu-ibu yang satu frekuensi dan merasa memiliki support system di luar yang sudah ada. Orang itu pasti paham keadaan orang lain jika pernah mengalaminya, karena melihat itu beda rasanya dengan mengalami, jadi aku seneng ikut komunitas ini, merasa terbantu.
Aku ingat ibu aku mengajarkan kemandirian meskipun menjadi istri dan wanita. Ada saat-saat tertentu, kita hanya bisa mengandalkan dirinya, yang bisa menyelamatkan diri kita sendiri, bukan orang lain.
Pasti terasa banget karena rutinitas yang berbeda, mungkin yang dulu bisa dilakukan sekarang enggak, prioritasnya juga berbeda, ada orang baru di kehidupan kita ada suami dan anak yang kadang harus ngorbanin diri sendiri juga, ya terasa sih bedanya.
Support system utama pasti Allah, karena enggak akan meninggalkan kita. Kedua, menurutku adalah diri sendiri, harus yakin. Bagaimana mau meyakinkan orang lain kalau kita saja enggak yakin. Ketiga adalah suami. Menurutku yang lagi mengejar mimpi, pastikan tiga hal itu dulu. Kalau support system sudah aman, kita tinggal harus yakin bahwa ini jalan yang terbaik.
Dengan melakukan suatu pekerjaan selain mengasuh anak dan ibu rumah tangga, aku merasa memiliki potensi untuk pekerjaan itu dan merasa hidup aku semakin semangat dan berdaya jika pekerjaan itu terus dilakukan. Sekarang aku menekuni usaha mandiri sebagai konselor karier dan bahagia. Menurut aku, perempuan jika diberdayakan dan tidak termakan stigma masyarakat dulu pasti akan membawa dampak besar untuk keberlangsungan hidupnya.
Kartika Trianita, Owner Konselor Karier dan member Komunitas Ibu Punya Mimpi. Foto: Cantika/Ricky Nugraha
Gina
Aku kembali mengisi hari-hari dengan karya demi karya. Ketika lelah, aku akan melakukan kegiatan yang aku sukai untuk mengisi energi saat kembali menjadi ibu. Kalau aku stres atau lelah, yang akan terjadi adalah marah sama anak-anak, padahal aku tidak ingin hal tersebut terjadi. Aku dan suami enggak mau kalau anak nanti tumbuh dengan teriakan, bentakan, suami juga enggak mau ribut sama aku. Jadi kami bareng-bareng menjaga kewarasan itu.
Kembali mengerjakan apa yang aku suka adalah 'nyawa tambahan' yang membangkitkan mimpiku. Sempat terjun di dunia digital marketing sebelum menjadi ibu, sekarang aku senang karena dapat menciptakan karya-karya lagi setelah vakum saat mengurus anak. Aku kembali menerima beberapa klien, membuat website, social media management, dan jasa advertising.
Aku selalu berusaha membuat pekerjaan menjadi hobi di tengah padatnya kegiatan mengurus anak. Aku akan menyisihkan waktu dengan proyek-proyek yang ada di kepalaku, seperti membuat konten, membuat buku cerita anak, dan lainnya. Tentunya diimbangi dengan dukungan suami dan pembagian tugas yang pas dengan suami.
Aku sering mendengar stigma masyarakat tentang peran ibu rumah tangga yang mengatakan bahwa harusnya menjadi ibu tidak perlu bekerja dan kadang dianggap egois bila ingin memiliki mimpi sendiri. Aku tidak peduli, aku akan mewujudkan mimpi selain menjadi ibu dan istri. Aku perlu dihargai oleh diriku sendiri, aku rasakan expert di bidang apa, itu aku lakuin.
Karina
Aku sebagai ibu yang bekerja di perusahaan dengan budaya kerja yang menuntut intensitas tinggi dan jam kerja panjang. Waktu di kantor bisa mencapai 12 jam karena padatnya beban pekerjaan. Bahkan, akhir pekan pun tak jarang masih diisi dengan urusan kantor.
Menariknya, lingkungan kerja aku memberikan ruang yang cukup manusiawi. Saat harus bekerja di akhir pekan, aku diperbolehkan membawa anak ke kantor. Aku belajar menata ulang waktu dan energi bagaimana caranya tetap hadir sebagai ibu di akhir pekan, tanpa mengabaikan tanggung jawab profesional yang diemban.
Yang penting bukan memilih salah satu, tapi bagaimana menjalankan keduanya dengan seimbang. Bagi aku, kunci utama ada pada sikap menyetarakan diri. Tidak merasa lebih istimewa hanya karena memiliki peran ganda, dan tetap menempatkan profesionalitas sebagai prioritas utama dalam bekerja.
Satu hal penting, bagiku perempuan, termasuk ibu boleh melakukan kesalahan. Itu manusiawi. Namun, kesalahan seharusnya menjadi ruang belajar, bukan diulang tanpa refleksi. Mengetahui apa yang perlu dipelajari dan diperbaiki adalah bagian dari proses bertumbuh, baik sebagai individu maupun profesional.
Pengalaman membawa anak ke kantor justru membuka perspektif baru. Anak aku memahami bahwa ibunya bekerja di ruang profesional, bertemu rekan-rekan kerja, dan menjalani tanggung jawab di luar rumah.
Dukungan paling berarti datang dari atasanku yang memahami posisiku sebagai ibu. Ketika anak sakit dan harus izin atau cuti, respons yang aku terima bukan tekanan, melainkan empati. Atasanku tidak serta-merta menghubungi kecuali dalam kondisi mendesak, bahkan memilih mengirim pesan terlebih dahulu.
Apa pesan kamu untuk para ibu lain yang masih ragu untuk bermimpi kembali?
Kartika
Untuk berempati sama orang lain, belajar mengenal diri terus, jangan berhenti belajar karena selalu ada hal yang harus dipelajari ke depannya biar lebih baik. Aku belum sebaik ibu aku dulu, itu masih jadi pekerjaan rumah aku sekarang.
Buat para ibu lain yang sedang berjuang menemukan diri dan menemukan kariernya seperti apa tetap semangat berproses yang mungkin mustahil selesai cepat. Ini proses seumur hidup menjadi ibu lebih baik, tetap pikirkan diri kamu dulu, baru orang lain. Ketika tetap berusaha terbaik supaya semua dapat porsi seimbang, energi cukup buat suami, anak, keluarga, termasuk diri kita sendiri.
Gina
Apa yang sudah aku lakukan tanpa terbebani orang lain dan disesuaikan versi aku yang sekarang, tidak maksa menjadi Gina yang dulu, tapi sudah bisa melakukan apa saja sekarang. Karena aku sudah menemukan itu, jujur aku sudah menemukan diriku.
Aku mau sampaikan juga sama diriku 'Gina enggak usah sok perfeksionis, enggak apa-apa delegasikan tugas. Kalau target enggak tercapai, enggak apa-apa juga. Yang kamu harapkan udah lewat dari yang kamu bayangkan, mungkin belok ke arah lain, jangan nambah stres dengan hal kayak gitu'.
Buat para ibu yang mengalami sepertiku, stres, burnout di rumah itu wajar dan rentan, ibu enggak apa-apa pergi dari kesibukan. Rehat, enggak dosa. Jaga kewarasan diri sendiri itu tanggung jawab kita, enggak perlu peduli sama stigma orang lain tentang ibu. Cuma 1 sampai 2 jam lepas dari anak enggak buat kita jadi ibu yang enggak bertanggung jawab.
Gina Sabrina, member Komunitas Ibu Punya Mimpi. Foto: Cantika/Ricky Nugraha
Karina
Aku mau bilang sama diriku sendiri tidak apa-apa punya kesalahan, tapi jangan ulang kesalahan yang sama. Tidak apa-apa kamu terus belajar daripada tidak tahu hal-hal yang seharusnya kamu tahu. Tidak apa-apa tidak bisa menerima dirimu saat ini karena akan ada masanya kamu mencapai semua keinginanmu.
Kamu punya waktu untuk mengejar mimpimu. Kamu punya waktu untuk dirimu sendiri, dan kamu bisa sukses dengan caramu sendiri.
Makna menemukan diri sendiri itu jadi satu momen buat aku menjadi pribadi yang lebih utuh lagi. Aku bisa jadi manusia yang lebih baik, jadi perempuan yang lebih tepat supaya ke depannya tahu harus bagaimana dengan suami dan anak. Karena kalau aku enggak mengenal diriku, aku enggak bisa menjadi ibu, istri, atau teman di kantor.
Pilihan Editor: Hari Ibu 2025: Reconnect to Connect, Saat Ibu Menemukan Dirinya Lagi
LANNY KUSUMASTUTI | ECKA PRAMITA | TSABITA SIRLY KAMALIYA
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.


















































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4548967/original/094336900_1692782124-tanaphong-toochinda-FEhFnQdLYyM-unsplash.jpg)