TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai jam kerja yang berlebih atau overtime berpotensi membuat peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) melakukan tindak kriminal. “Harusnya residen maupun co-ass itu jam kerja maksimal 40-50 jam per minggu. Kalau saat ini Kemenkes itu membuat surat edaran sekitar 80 jam per minggu itu. Menurut kami itu masih tidak ideal,” kata Ketua Umum IDI Slamet Budiarto saat dihubungi pada Kamis, 10 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mencontohkan kasus teranyar yakni dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Priguna Anugerah Pratama, dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat. Menurut Budi, salah satu yang memicu pelaku melakukan pemerkosaan adalah tingginya tingkat stres lantaran terlalu lelah bekerja. “Dia waktunya ada di rumah sakit terus, overtime, enggak pernah ketemu istri, kan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,” ucapnya.
Priguna merupakan mahasiswa tahun kedua di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) dengan spesialisasi anestesi. Ia diduga memerkosa salah satu keluarga pasien pada 18 Maret lalu. Modus yang digunakan ialah dengan meminta korban melakukan transfusi darah untuk keperluan medis sang ayah. Ia kemudian menyuntikkan cairan bius melalui infus setelah menusukkan jarum ke tangan korban sebanyak 15 kali. Saat dilecehkan, korban berada dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Budi menuturkan kasus ini bukanlah tindakan kriminal pertama di lingkungan PPDS. Dia menyebut sebelumnya pernah terjadi sejumlah hal mulai dari bunuh diri, perundungan, hingga pelecehan seksual. Oleh karena itu, kata dia, pihaknya akan mengirim surat kepada Kemenkes dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk mengubah aturan jam kerja.
“Sebenarnya (permintaan) sudah dilakukan. Tapi saya nggak tahu Kemenkes kenapa membuat aturan 80 jam per minggu. Jadi kami akan bikin surat lagi secepatnya,” ucap Budi.
Selain persoalan durasi bekerja, IDI juga akan mengajukan saran pada pemerintah agar para dokter residen maupun co-assitant mendapatkan gaji, meski mereka bekerja dengan statusnya sebagai pelajar. “Residen itu kan melakukan tindakan medis, jadi itu harusnya tetap diberi gaji juga. Ini untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran ke depan,” ucapnya.