Mengapa IMF Meyakini Tarif Trump Tak Sebabkan Resesi

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump atau disebut tarif Trump memicu kekhawatiran global. Pasar saham berguncang, proyeksi ekonomi dikoreksi, dan ketegangan dagang meningkat. Namun di tengah kegaduhan itu, Dana Moneter Internasional (IMF) justru mengambil posisi berbeda: dunia akan melambat, tapi tidak sampai masuk jurang resesi.

Dalam laporan terbarunya yang dirilis Kamis, 17 April 2025, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global akibat ketidakpastian perdagangan, tetapi menegaskan bahwa tidak akan terjadi resesi. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebut bahwa meskipun risiko meningkat, ekonomi global masih bisa bertahan, asal negara-negara mengambil langkah bijak dan terkoordinasi.

“Saya menekankan akan ada penurunan harga tetapi tidak resesi. Kami tentu tahu dari pengalaman bahwa semakin lama ketidakpastian berlangsung, semakin besar kemungkinan hal itu berdampak negatif pada pertumbuhan,” kata Georgieva dalam pidatonya yang disiarkan kanal YouTube @imf.

Tarif “Liberation Day” dan Guncangan Pasar

Kebijakan tarif “Liberation Day” yang diumumkan Trump pada 2 April lalu menjadi titik balik baru dalam ketegangan dagang global. Imbasnya terasa nyata: indeks FTSE 100 di Inggris masih 4,6 persen lebih rendah dibanding sebulan sebelumnya. Banyak negara pun membalas kebijakan AS dengan tarif serupa. Perusahaan-perusahaan menahan investasi dan pengeluaran. Ketidakpastian melonjak.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memproyeksikan penurunan volume perdagangan global tahun ini. Sementara Bank of England dan Bank Sentral Eropa (ECB) menyebut tensi dagang sebagai ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi dan keuangan global. ECB bahkan memangkas suku bunganya sebagai respons terhadap tekanan tersebut.

Namun IMF menyebut kondisi ini belum mencapai skala krisis. Menurut lembaga itu, selama fondasi domestik ekonomi negara-negara tetap kokoh dan respons kebijakan dilakukan dengan hati-hati, dunia bisa menghindari skenario terburuk.

Mengapa IMF Masih Optimistis?

IMF menyebut ada beberapa alasan mengapa ekonomi global tidak serta-merta masuk ke jurang resesi meski tensi perdagangan meningkat:

1. Ketahanan ekonomi domestik

Negara-negara besar seperti China, kawasan Eropa, dan Amerika Serikat masih memiliki ruang kebijakan fiskal dan moneter. Misalnya, Bank Sentral China (PBoC) tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 3,1 persen selama enam bulan berturut-turut, menandakan pendekatan stabilisasi di tengah tekanan eksternal.

2. Respons kebijakan moneter yang adaptif

ECB sudah memangkas suku bunga. Di sisi lain, Presiden Trump mendesak The Fed untuk mengambil langkah serupa. Meski memicu kekhawatiran soal independensi bank sentral, permintaan tersebut menunjukkan bahwa pelonggaran kebijakan tetap jadi opsi untuk menopang pertumbuhan.

3. Fokus pada reformasi struktural

Georgieva juga menekankan pentingnya reformasi domestik: Eropa didorong memperdalam integrasi pasar tunggalnya, China diminta memperkuat jaring pengaman sosialnya agar konsumsi masyarakat tidak terlalu tertahan, dan AS diimbau menekan utangnya yang terus membengkak.

Reaksi Pasar: Volatil, Tapi Tidak Panik

Pasar finansial menunjukkan respons campuran. Di bursa saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bergerak di zona merah pada sesi pertama perdagangan Senin, 21 April 2025, namun ditutup menguat tipis 7,70 poin atau 0,12 persen ke posisi 6445,97.

Sektor teknologi mencatat kenaikan tertinggi 3,39 persen, sementara sektor barang konsumen primer memimpin pelemahan sebesar 0,95 persen. Total nilai transaksi tercatat sebesar Rp8,43 triliun, dengan lebih dari 14,7 miliar saham berpindah tangan.

Di kawasan Asia, indeks saham regional bergerak variatif: Nikkei Jepang melemah, namun indeks Shanghai dan Strait Times justru mencatat penguatan.

Dampak Tarif terhadap Indonesia

Sementara itu, Indonesia juga ikut menghadapi tantangan. Pemerintah tengah bernegosiasi dengan United States Trade Representative (USTR) untuk menyelesaikan sengketa tarif dalam waktu 60 hari. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut potensi tarif impor AS terhadap produk Indonesia bisa mencapai 47 persen, angka yang dapat menggerus daya saing dan surplus perdagangan RI.

Meski begitu, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2025 masih mencatatkan surplus sebesar 4,33 miliar dolar AS. Namun pelaku pasar khawatir, bila AS menerapkan tarif resiprokal, tren positif ini bisa berubah arah dalam waktu dekat.

Pangkal Masalahnya Ketidakpastian

IMF menegaskan bahwa persoalan utama bukan tarif itu sendiri, melainkan ketidakpastian yang ditimbulkannya. Selama dunia belum menemukan kepastian arah dan negara-negara besar masih bersitegang, potensi perlambatan akan tetap ada. Tapi resesi global? Untuk saat ini, belum terlihat di depan mata.

“Ini adalah panggilan untuk merespons dengan bijak… Ekonomi dunia yang lebih seimbang dan tangguh masih dapat kita raih. Kita harus bertindak untuk mewujudkannya,” tutup Georgieva.

Read Entire Article
Parenting |