Pemerintah Diminta Buat Dialog dan Kajian untuk Usulan Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial sejak Maret lalu membahas pengusulan calon pahlawan nasional pada tahun 2025. Dari sejumlah tokoh yang diusulkan dalam daftar tersebut, nama mantan presiden, Soeharto, turut masuk dalam daftar yang dikaji untuk diberi gelar hingga memicu sorotan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan sebelum pemberian gelar pahlawan nasional kepada sejumlah tokoh itu, pemerintah perlu menggelar dialog serta kajian matang dari berbagai perspektif.

"Dulu saat Bung Karno akan diberi gelar juga terjadi kontroversi, sampai akhirnya terlambat diberi gelar pahlawan. Padahal beliau adalah tokoh sentral proklamator," kata Haedar di Yogyakarta pada Selasa, 22 April 2025.

Haedar juga mencontohkan ketika usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Mohammad Natsir dan Buya Hamka. Awalnya, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada kedua tokoh tersebut sulit, tapi akhirnya disetujui.

Merespon pro-kontra rencana pemberian gelar Soeharto sebagai pahlawan nasional di era Presiden Prabowo Subianto ini, Haedar menyarankan agar pemerintah membuka ruang dialog. Terutama dari pihak-pihak yang selama ini menolak dan tak setuju dengan usulan rencana itu.

Menurut dia, semua kebijakan yang memicu pro-kontra harus ada dialog dan titik temu. Dalam rencana pemberian gelar pahlawan itu, Haedar melanjutkan, perspektifnya menghargai tokoh yang memang memiliki sisi yang tidak baik, tetapi juga memiliki banyak sisi baiknya.

"Coba pemerintah membangun dialog untuk rekonsiliasi, lalu mengkaji dampak kebijakan (Soeharto) yang dulu dinilai berdampak buruk pada HAM (hak asasi manusia) dan lainnya, itu diselesaikan dengan mekanisme sesuai koridor ketatanegaraan yang sah," ujar Haedar.

Haedar menilai dalam sebuah perjalanan bangsa, perlu dilakukan rekonsiliasi bertahap atas kebijakan-kebijakan yang terjadi pada masa lalu. Tujuannya, menurut dia, agar tidak terus menerus terjadi situasi tarik ulur yang kontradiktif pada sebuah rencana tersebut.

Haedar melanjutkan, munculnya polemik saat pemberian gelar pahlawan nasional bisa menjadi pembelajaran para pemimpin dan tokoh bangsa ke depan.

"Berbijaksanalah saat memimpin karena jatuhnya seorang tokoh bangsa karena disebabkan pertama godaan kekuasaan yang tak berkesudahan, godaan materi dan sebagainya," kata dia.

"Semua harus belajar tentang nilai nilai kepahlawanan, bahwa tokoh bangsa saat ini dan ke depan harus sudah selesai dengan dirinya sendiri."

Sebelumnya Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret lalu membahas pengusulan calon pahlawan nasional pada tahun 2025.

Tokoh yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional 2025 antara lain
K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Jenderal Besar H.M. Soeharto (Jawa Tengah), K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), dan Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh).

Ada juga K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat), Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).

Read Entire Article
Parenting |