Alasan Kemendiktisaintek Belum Cabut Status ASN Pelaku Pelecehan Seksual di UGM

4 days ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Belasan korban dugaan pelecehan seksual oleh Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk mengambil tindakan tegas dengan menjatuhkan sanksi berupa pencabutan status Edy sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Sebelumnya, pihak Rektorat UGM telah memecat Edy setelah ia terbukti melanggar kode etik dosen serta Pasal 3 dalam Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UGM juga telah melaporkan pelanggaran disiplin tersebut ke kementerian agar dapat ditindaklanjuti sesuai aturan kepegawaian. Kementerian, melalui surat tertanggal 13 Maret 2025, telah menugaskan UGM untuk membentuk tim pemeriksa guna memproses pelanggaran tersebut.

Dalam prosedur pencabutan status ASN, kementerian mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 6 Tahun 2022 yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Hingga saat ini, sebanyak 15 mahasiswa telah melaporkan diri sebagai korban ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UGM. Dari laporan tersebut, tercatat total 33 insiden, dengan beberapa korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Tak ada lagi alasan bagi kampus untuk menyembunyikan hal ini. Semua orang juga sudah tahu,” ujar salah satu korban kepada Tempo, Senin, 7 April 2025.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menyampaikan bahwa proses pencabutan status aparatur sipil negara (ASN) terhadap guru besar UGM, Edy Meiyanto, diperkirakan memerlukan waktu antara tiga hingga enam bulan.

Sekretaris Jenderal Kemendikti, Togar Simatupang, menjelaskan bahwa proses ini tidak dapat dipercepat karena harus melalui sejumlah tahapan, termasuk pemanggilan pihak-pihak terkait hingga penentuan sanksi. "Proses normalnya itu tiga sampai enam bulan atau lebih," ujar Togar kepada Tempo pada Senin, 7 April 2025.

Togar menambahkan bahwa proses pemeriksaan telah dijalankan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), dan hasilnya telah diserahkan kepada pihak kementerian untuk ditindaklanjuti. "Pembentukan Tim Pemeriksa bersifat wajib untuk dugaan pelanggaran disiplin tingkat berat," ujar Togar. "Itu sedang diproses."

Ia mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam, karena menurutnya lembaga pendidikan tinggi seharusnya tidak menjadi tempat berlangsungnya tindakan amoral semacam itu.

"Tentunya sangat memprihatinkan ketika PT sebagai garda terdepan nilai-nilai kemanusiaan masih ada oknum yang mencoret nilai-nilai tersebut," ujarnya, dikutip dari Antara.

Sebagai langkah pencegahan agar kasus pelecehan seksual serupa tidak terjadi di kampus lain, Togar mengimbau setiap perguruan tinggi untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai tolok ukur peradaban. Ia juga menekankan pentingnya memiliki sistem yang mampu mendeteksi, mencegah, dan menangani kekerasan seksual secara efektif.

"Pimpinan perguruan tinggi diminta segera melakukan sosialisasi, kesadaran tantangan dan ancaman kekerasan seksual, dan membentuk Satgas PPKS," kata Togar M. Simatupang.

Sebelumnya, pihak Rektorat UGM telah menjatuhkan sanksi berupa pemecatan kepada salah satu guru besar Fakultas Farmasi berinisial EM, setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa.

"Pimpinan UGM sudah menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku," kata Andi.

Shinta Maharani dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Parenting |