TEMPO.CO, Jakarta - Di pedalaman hutan hujan Amazon, tepatnya di sepanjang Sungai Maici, Brasil, hidup suku kecil bernama Piraha. Suku ini menarik perhatian dunia karena cara hidupnya yang unik dan berbeda dari masyarakat modern. Suku Piraha bukan hanya tidak mengenal angka atau warna, tetapi juga menjalani hidup tanpa kekhawatiran dan dianggap sebagai suku paling bahagia di dunia.
Hidup Tanpa Angka dan Warna
Dilansir dari laman The Wanderlust Addict, salah satu aspek paling mencolok dari budaya Piraha adalah ketiadaan konsep angka dan warna dalam bahasa mereka. Mereka tidak memiliki kata-kata untuk menghitung atau menyebut warna, bahkan tidak mengenal simbol seperti jari untuk menunjukkan jumlah. Contohnya, dua ikan tidak dihitung sebagai dua, melainkan sebagai lebih besar dibandingkan satu ikan.
Hal yang sama berlaku untuk warna. Alih-alih menyebut merah atau biru, mereka menggunakan perbandingan seperti darah atau lebih gelap. Kategori abstrak seperti warna atau angka, bagi mereka, tidak relevan dalam memahami dunia. Dapat dikatakan bahwa kehidupan suku ini tidak dipengaruhi oleh abstraksi atau generalisasi, melainkan didasarkan pada apa yang dapat mereka lihat, dengar, dan rasakan secara langsung.
Bahasa yang Menantang Teori Linguistik
Dilansir dari laman The Sum Of, Suku Piraha menggunakan bahasa yang belum ditemukan kerabatnya dalam rumpun bahasa lain. Penelitian oleh Daniel Everett dan para linguistis dari MIT menemukan bahwa bahasa Piraha tidak mengenal angka, warna, atau struktur rekursif yang selama ini dianggap universal dalam universal dalam bahasa manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daniel Everett, salah seorang linguis yang mempelajari bahasa Piraha, berpendapat bahwa ketiadaan rekursi ini menunjukkan budaya suku Piraha yang menolak untuk membicarakan hal-hal di luar pengalaman langsung. Hal ini menantang bagi gagasan tata bahasa dari teori Noam Chomsky tentang struktur universal bahasa manusia.
Dalam struktur bahasa mereka, Suku Piraha menggunakan akhiran kata untuk menyatakan seberapa kuat bukti yang mendukung pernyataan si pembicara. Ada tiga jenis: berdasarkan penglihatan langsung, laporan dari orang lain, atau dugaan dari petunjuk tak langsung. Contohnya untuk mengatakan “perahu itu bocor” ada perbedaan besar antara “saya melihat air masuk ke dalamnya”, “seseorang bilang begitu”, atau “saya melihat perahunya tenggelam”.
Tidak Ada Basa-Basi
Dalam bahasa Piraha, tidak dikenal sapaan basa-basi seperti “apa kabar” atau “senang bertemu denganmu”. Mereka lebih memilih bentuk komunikasi langsung, praktis, dan tanpa pengantar. Ucapan terima kasih pun digantikan dengan tindakan nyata berupa balasan kebaikan di kemudian hari.
Sistem Penamaan yang Terhubung dengan Kosmologi
Menurut laman Povos Indígenas No Brasil, Suku Piraha memiliki sistem penamaan yang kompleks dan erat kaitannya dengan kosmologi mereka. Seorang anak menerima nama pertamanya bahkan sebelum lahir yang diyakini bertanggung jawab atas penciptaan tubuhnya. Sepanjang hidup, individu akan menerima nama-nama tambahan yang berasal dari makhluk-makhluk yang mendiami lapisan-lapisan kosmos, serta dari musuh-musuh perang. Sistem ini menjadi pandangan bagi Suku Piraha yang melihat kehidupan sebagai bagian dari struktur kosmik yang lebih besar.
Kehidupan Sosial yang Sederhana dan Bahagia
Suku Piraha dikenal sebagai suku yang bahagia, meskipun mereka hidup tanpa banyak hal yang dianggap esensial oleh masyarakat modern, seperti angka, warna, atau seni visual. Mereka hidup dalam kelompok kecil, berpindah-pindah sesuai musim, dan menjalani kehidupan sebagai pemburu dan peramu.
Meski tinggal di lingkungan yang keras, para antropolog mencatat mereka sebagai salah satu komunitas yang paling sering tertawa dan tersenyum. Kalimat pengantar tidur mereka bahkan berbunyi, “jangan tidur, ada ular", yang tidak dimaksudkan menakut-nakuti, tetapi mencerminkan cara mereka menghadapi hidup: apa adanya, tanpa dramatisasi. Suku Piraha hanya berfokus pada saat ini dan menolak abstraksi karena menurut mereka dengan cara ini mereka dapat hidup tanpa beban masa lalu atau kekhawatiran masa depan.