ISRAEL telah memutuskan untuk mencegah kunjungan yang direncanakan oleh para menteri luar negeri Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Yordania, Qatar, dan Turki untuk menemui Otoritas Palestina di Tepi Barat. Seorang pejabat senior Israel berbicara kepada para wartawan tentang hal ini, Axios melaporkan.
Langkah yang jarang terjadi ini diperkirakan akan semakin merenggangkan hubungan antara pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan negara-negara Arab. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan AS sebelumnya, seperti dorongan Presiden Trump untuk memasukkan Arab Saudi dan negara-negara lain ke dalam Perjanjian Abraham, kini tampak semakin jauh. Kebuntuan diplomatik ini menyoroti semakin terisolasinya Israel secara internasional setelah 19 bulan konflik di Gaza.
Apa Tujuan Para Menteri Arab Berkunjung ke Tepi Barat?
The New Arab melansir, Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan telah mengkoordinasikan kunjungan para diplomat Arab dan Muslim ke Ramallah sebagai bagian dari inisiatif yang dipimpin oleh Saudi untuk mendorong pengakuan global atas negara Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini akan menjadi kunjungan pertama kalinya seorang menteri luar negeri Arab Saudi ke wilayah tersebut sejak Israel mendudukinya pada 1967 dan dilakukan di tengah-tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza dan dukungan Riyadh yang terus berlanjut untuk kenegaraan Palestina.
Kunjungan Pangeran Faisal bertepatan dengan komitmen baru Israel untuk memperluas permukiman di Tepi Barat dan deklarasinya untuk mendirikan "negara Yahudi Israel" di sana. Ketegangan semakin meningkat sejak Israel melanjutkan kampanye militernya di Gaza pada bulan Maret, yang memicu kecaman internasional dan peringatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai krisis kemanusiaan yang semakin parah dan risiko kelaparan di wilayah tersebut.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman secara pribadi mendukung misi tersebut, yang juga bertujuan untuk menunjukkan solidaritas dengan Otoritas Palestina. Delegasi tersebut dijadwalkan tiba di Ramallah pada Minggu dengan menggunakan dua helikopter dari Yordania dan bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Masuk ke Tepi Barat yang diduduki membutuhkan persetujuan pemerintah Israel, yang ditolak setelah perdebatan internal pada Jumat.
Mengapa Izin Israel Dibutuhkan?
Karena Israel mengontrol akses ke Tepi Barat, persetujuannya diperlukan agar para menteri dapat masuk. Perjalanan yang direncanakan oleh Pangeran Faisal bin Farhan akan menandai pertama kalinya seorang menteri luar negeri Saudi mengunjungi Tepi Barat sejak Israel merebut wilayah itu pada tahun 1967. Menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut, para menteri akan terbang dari Yordania ke Ramallah dengan helikopter.
Keputusan pemerintah Israel tersebut menghalangi apa yang seharusnya menjadi kunjungan diplomatik yang signifikan, yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan. Seorang pejabat senior Israel mengatakan kepada The Times of Israel bahwa Otoritas Palestina bermaksud untuk menggunakan kunjungan penting tersebut untuk memajukan tujuan pendirian negara Palestina.
Pejabat tersebut berargumen bahwa negara semacam itu akan menjadi "negara teroris di jantung Tanah Israel," dan menyatakan bahwa Israel tidak akan mendukung inisiatif yang dianggap mengancam keamanannya. Pejabat tersebut juga menuduh Otoritas Palestina telah berulang kali melanggar perjanjian dengan Israel.
Larangan masuk ini diperkirakan akan semakin memperkeruh hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arabnya, yang telah memburuk sejak pecahnya perang di Gaza.
Apa Tanggapan Negara-negara Arab?
Para menteri luar negeri dari beberapa negara Arab mengkritik tajam larangan Israel pada Sabtu.
Menurut sebuah pernyataan dari kementerian luar negeri Yordania, kelompok tersebut termasuk para menteri dari Arab Saudi, Mesir, Yordania, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, dan Turki juga diharapkan untuk berpartisipasi.
Para menteri tersebut mengeluarkan sebuah deklarasi bersama yang mengecam langkah Israel, menggambarkannya sebagai tindakan "arogan" dan menuduh pemerintah Israel menunjukkan penghinaan terhadap hukum internasional. Mereka lebih lanjut menuduh bahwa tindakan Israel merupakan bagian dari pola "tindakan dan kebijakan tidak sah" yang mengisolasi rakyat Palestina dan kepemimpinan mereka.
Pernyataan tersebut juga menyatakan bahwa keputusan Israel tersebut bertujuan untuk memperpanjang pendudukannya dan mengurangi prospek perdamaian yang adil dan langgeng di wilayah tersebut.
Apakah Israel Serius dengan Larangannya?
Ya. Israel telah menunjukkan tekad mereka untuk menghalangi siapa pun masuk tanpa izin mereka. Rabu, 21 Mei 2025, tentara Israel melepaskan “tembakan peringatan” ke arah sekelompok diplomat asing yang sedang melakukan tur di Tepi Barat yang diduduki, termasuk perwakilan dari negara-negara yang secara tradisional mendukung Israel, seperti dilansir Al Monitor.
Rekaman video dari Jenin menunjukkan para diplomat dan jurnalis berlarian menyelamatkan diri saat tembakan terdengar. Menurut seorang diplomat Eropa yang hadir, kelompok tersebut telah melakukan perjalanan ke daerah tersebut untuk menyaksikan secara langsung kehancuran yang ditinggalkan oleh operasi Israel sejak konflik Gaza meningkat pada Oktober 2023.
Militer Israel mengklaim bahwa konvoi tersebut menyimpang dari rute resmi dan memasuki zona terlarang. Tentara kemudian melepaskan tembakan peringatan untuk mengarahkan kembali kelompok tersebut, menekankan bahwa tidak ada yang terluka dan meminta maaf atas gangguan yang ditimbulkan.
Penembakan ini segera mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, mengutuk insiden tersebut sebagai hal yang "tidak dapat diterima," dan menekankan, "Para diplomat yang sedang menjalankan tugasnya tidak boleh ditembaki atau diserang. Keselamatan mereka harus dilindungi setiap saat."
Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, dan Uruguay memanggil duta besar Israel atau mengumumkan rencana untuk membicarakan masalah ini secara langsung dengan para pejabat Israel. Mesir mengecam penembakan tersebut sebagai pelanggaran norma-norma diplomatik, sementara Turki menuntut penyelidikan yang cepat dan menyeluruh, dan bersikeras bahwa mereka yang terlibat harus diadili.
Apakah Ini Akan Memperburuk Hubungan Negara-negara Arab dan Israel?
Sejak pemerintah sayap kanan Israel saat ini menjabat pada Desember 2022, hubungan Israel dengan beberapa negara Arab telah memburuk, terutama karena krisis kemanusiaan dan jumlah korban tewas di Gaza telah meningkat.
Awal pekan ini, UEA memanggil duta besar Israel untuk mendapatkan teguran keras, dengan seorang pejabat Emirat menggambarkan pertemuan itu sebagai "sangat sulit" dan mencatat bahwa duta besar tersebut diinstruksikan untuk menyampaikan pesan-pesan keras kepada Netanyahu.
Arab Saudi, rumah bagi situs-situs tersuci Islam dan pengekspor minyak terbesar di dunia, dilaporkan hampir mencapai kesepakatan normalisasi dengan Israel sebelum pecahnya perang Gaza. Dalam kunjungannya ke Riyadh baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump menggambarkan normalisasi Saudi-Israel sebagai "harapan dan keinginannya yang kuat, dan bahkan impian saya," sambil menekankan bahwa keputusan tersebut harus dibuat pada waktu yang tepat di Arab Saudi.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman pada September lalu menegaskan bahwa Arab Saudi tidak akan mengakui Israel tanpa adanya negara Palestina yang merdeka. Sikap ini ditegaskan kembali pada November dalam pertemuan gabungan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam, di mana Israel dituduh melakukan "genosida" di Gaza.