Kilas Balik Kasus Korupsi Minyak Goreng Berujung Suap Rp 60 Miliar ke Ketua PN Jakarta Selatan

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Penanganan kasus korupsi minyak goreng pada 2024 lalu diduga direkayasa melalui praktik jual beli vonis. Kasus ini dibongkar Kejaksaan Agung dengan menangkap empat tersangka yang terdiri dari dua pengacara dan dua petinggi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tempat kasus tersebut diperkarakan.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengungkapkan telah menemukan bukti bahwa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), menerima suap senilai Rp 60 miliar, saat masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dana tersebut diduga diberikan oleh dua pengacara, Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) melalui panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG), terkait penanganan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO), yang lebih dikenal sebagai kasus korupsi minyak goreng.

Arif diduga ikut mengatur vonis lepas atau onslag pada perkara korupsi yang melibatkan tiga perusahaan, PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Lantas, bagaimana sebenarnya kasus korupsi minyak goreng tersebut hingga menyeret Ketua PN Jakarta Selatan? Simak kilas baliknya berikut ini.


Kilas Balik Kasus Korupsi Minyak Goreng

Kasus korupsi minyak goreng yang kini menyeret Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, berawal dari kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 hingga awal 2022. Saat itu, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), bahan baku utama minyak goreng, mengalami lonjakan akibat invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak pada pasokan minyak dan gas global.

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 9 April 2022, sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia seharusnya tidak mengalami kelangkaan minyak goreng. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, minyak goreng menjadi barang langka di pasar.

Pemerintah kemudian merespons situasi ini dengan berbagai kebijakan. Pada Januari 2022, Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi, menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 yang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana (MGKS).

Namun, kebijakan tersebut gagal mengatasi kelangkaan. Kebijakan lainnya yang diterapkan, seperti larangan terbatas ekspor CPO dan domestic market obligation (DMO), juga tidak berhasil menormalkan pasokan minyak goreng di pasar.

Dalam perkembangan penyidikan, terungkap bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah justru menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar, seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.

Kejaksaan Agung menemukan bahwa ketiga perusahaan ini lebih memilih mengekspor CPO daripada memenuhi kebutuhan domestik, yang berkontribusi pada kelangkaan minyak goreng. Akibatnya, mereka ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus ini pada Juni 2023.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menuntut ketiga korporasi tersebut menggunakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. JPU menilai ketiga korporasi tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO secara bersama-sama. Kepada ketiganya, Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar.

Jaksa juga menuntut pidana tambahan kepada tiga raksasa korporasi pengolah minyak sawit itu. Jaksa meminta Permata Hijau Group membayar uang pengganti sebesar Rp 937,5 miliar. Sementara Wilmar Group, dituntut jaksa membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara sebesar Rp11,880 triliun. Sedangkan Musim Mas Group diminta membayar uang Rp 4,89 triliun.

“Namun terhadap tuntutan tersebut masing-masing terdakwa korporasi diputus terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging) oleh Majelis Hakim PN Tipikor,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar.

Terbaru, Kejaksaan Agung menemukan bukti bahwa putusan tersebut kemungkinan direkayasa melalui praktik jual beli vonis. Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Abdul Qohar menyatakan terdapat bukti bahwa Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta telah menerima uang suap sebesar Rp 60 miliar untuk pengurusan perkara tersebut. Ia diduga menerima dana dari pihak pengacara agar tiga korporasi itu mendapatkan vonis lepas atau onslag di pengadilan tipikor Jakarta Pusat.

“Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga Rp 60 miliar,” kata Abdul Qohar saat konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 12 April 2025.

Oyuk Ivani Siagian dan Putri Safira Pitaloka, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Parenting |