Komnas HAM Didesak Merekomendasikan Penghentian PSN Merauke

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Solidaritas Merauke mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto agar mengevaluasi dan menghentikan proyek Proyek Strategis Nasional (PSN)di Merauke. Selain ke Presiden, Solidaritas Merauke juga mendesak Komnas HAM untuk mengeluarkan rekomendasi untuk Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Agraria Tata Ruang.

Selain itu, Solidaritas Merauke juga meminta Komnas HAM agar mengawasi rekomendasi sampai dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pada Maret lalu, Komnas HAM telah mengeluarkan surat rekomendasi untuk Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke atas kasus ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami juga mendesak Komnas HAM untuk mengupayakan dan melakukan investigasi mendalam terkait dugaan dan potensi pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam proyek PSN Merauke yang dilakukan secara terencana dan berdampak luas terhadap kehidupan Suku Malind Anim, Khimahima, Maklew dan Yei di Kabupaten Merauke, semenjak proyek MIFEE, Kawasan Ekonomi Khusus dan kini”, kata Juru Bicara Solidaritas Merauke Teddy J. Wakum dalam keterangan tertulis, Senin, 14 April 2025.  

Koordinator Solidaritas Merauke Franky Samperante mengatakan PSN di Merauke telah melanggar hak hidup masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup. Franky menduga, proyek PSN Merauke belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan hidup. 

“Masyarakat terdampak langsung, maupun organisasi lingkungan hidup, tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan,” kata Franky.  

Franky menambahkan pelaksanaan PSN Merauke pun terindikasi melanggar Hak Asasi Manusia. Menurut dia, fenomena ini dikuatkan oleh temuan Komnas HAM yang menyatakan bahwa PSN untuk ketahanan pangan dan energi di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, berpotensi melanggar HAM. Temuan Komnas HAM itu dimuat dalam surat rekomendasi Komnas HAM atas PSN Merauke nomor 189/PM.00/R/III/2025. Surat rekomendasi itu ditujukan kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke pada 17 Maret 2025. 

Surat tersebut merespons pengaduan masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei pada 23 Oktober 2024, dalam dampingan Franky Samperante dari Yayasan Pusaka dan Teddy dari LBH Papua Pos Merauke. Pengaduan tersebut terkait dugaan pelanggaran hak masyarakat adat, hak hidup, hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas mata pencaharian, hak atas lingkungan hidup, akibat pelaksanaan PSN di Kabupaten Merauke Papua Selatan. 

Pada 14 Maret 2025, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro telah menggelar konferensi pers di Merauke. “Dugaan perampasan dan penyerobotan kawasan hutan serta lahan ulayat milik masyarakat adat tersebut berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka,” kata Atnike dalam sambutannya saat konferensi Solidaritas Merauke saat itu. 

Sebagai tindak lanjut pertemuan itu, Komnas HAM juga meminta keterangan kepada Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi Papua Selatan, Pemerintah Kabupaten Merauke, dan Panglima TNI melalui surat nomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 pada 18 November 2024. 

Dalam warkat itu, Komnas HAM menyampaikan 13 temuan yang di antaranya PSN Merauke mencakup lahan seluas kurang lebih dua juta hektare, yang sebagian besar berada di kawasan hutan dan wilayah adat di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik. Kawasan hutan dan wilayah adat tersebut termasuk hutan sagu, hutan alam dan rawa-rawa, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Temuan Komnas HAM menyatakan bahwa legalitas kepemilikan hak ulayat masih bermasalah karena selama ini hanya didasarkan pada pemetaan partisipatif yang tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Tapal batas kepemilikan hak ulayat juga hanya ditentukan berdasarkan kesepakatan antarwarga.

Pemerintah menetapkan area konsesi untuk perkebunan di atas kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan pertanian di kawasan Hak Pengguna Lain (HPL), belum sepenuhnya melibatkan masyarakat adat secara substansial. Beberapa perusahaan telah mengajukan dan memperoleh Hak Guna Usaha (HGB), seperti PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri, yang bergerak di bidang energi dan perkebunan di Distrik Tanah Miring dan Jagebob.

Temuan Komnas HAM menyatakan bahwa masyarakat adat belum pernah dilibatkan dalam proses penetapan HPK dan HPL. Padahal lahan tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka termasuk pelibatan dalam penentuan skema perencanaan praktik pertanian yang berkelanjutan. Masyarakat adat menghadapi kesulitan dalam memperoleh pengakuan atas hak tanah mereka karena belum adanya regulasi yang jelas terkait legalitas kepemilikan hak ulayat.

Menurut Franky, pemanfaatan hutan yang tidak tepat dalam pelaksanaan proyek ini dapat mengganggu keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat adat. Dampak lainnya adalah bencana alam seperti banjir di beberapa kampung di Distrik Eligobel, Distrik Sota, Distrik Kurik, Distrik Malind, Distrik Animha, dan Distrik Jagebob. Selain bencana banjir, skema proyek pertanian berskala besar yang tidak sesuai juga dapat menyebabkan hilangnya sumber pangan lokal seperti sagu, ubi, dan hasil hutan lainnya.

Komnas HAM Soroti Keterlibatan TNI di Merauke

Komnas HAM juga menyoroti keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Distrik Ilwayab, Merauke. Di sana, TNI diduga mendampingi penurunan sebanyak 300 unit alat berat menggunakan kapal dan helikopter. Terdapat 11 pos TNI yang mengawasi proyek sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat adat, Pada 10 November 2024, sebanyak 2.000 pasukan tiba di Merauke untuk mendukung proyek ini.

Adanya penambahan jumlah pasukan TNI di sekitar kawasan hutan dan lahan adat yang terdampak oleh proyek PSN. Meskipun alasan utama penempatan pasukan ini adalah sebagai tenaga pendukung PSN, hal itu justru menimbulkan ketegangan. Penempatan pasukan dalam jumlah besar menambah rasa ketakutan masyarakat adat, yang merasa diawasi, adanya ancaman kekerasan fisik dan intimidasi terhadap warga.

Atas berbagai temuan itu, Komnas HAM menilai proyek PSN Merauke memiliki potensi pelanggaran HAM. Potensi pelanggaran HAM itu meliputi hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas ketahanan pangan, hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan hak atas rasa aman. 

Komnas HAM juga menilai proyek di Merauke bertentangan dengan regulasi nasional yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hak masyarakat adat. Proyek ini juga tidak selaras dengan konvensi ILO yang mengamanatkan agar masyarakat adat menentukan nasibnya sendiri dalam penggunaan lahan adat.

Komnas HAM mendesak Pemerintah perlu segera mengevaluasi proyek dengan memastikan partisipasi masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan. Perlu kebijakan yang lebih jelas untuk melindungi hak masyarakat adat dalam menghadapi ekspansi investasi di Merauke. Perlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia dalam proses perizinan dan implementasi proyek agar hak masyarakat adat tetap terjamin

Atas berbagai temuan dan penilaian itu, Komnas HAM menyusun rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke. “Surat rekomendasi ini disampaikan sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM khususnya masyarakat adat di Merauke,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing, seperti terungkap dalam surat rekomendasi tersebut.

Read Entire Article
Parenting |