TEMPO.CO, Jakarta - Seorang penulis opini di detikcom mengalami kekerasan fisik usai tulisannya yang memuat kritik terhadap penunjukan jenderal aktif dalam jabatan sipil tayang pada Kamis, 22 Mei 2025. Artikel tersebut menyoroti pengangkatan Letnan Jenderal Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea Cukai yang dianggap bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam rekrutmen aparatur sipil negara. Djaka Budi sebelumnya menjabat sebagai sekretaris utama di Badan Intelijen Negara (BIN).
Usai publikasi artikel itu, penulis mengaku mendapat intimidasi dan diserang secara fisik oleh orang tak dikenal. Ia kemudian meminta pihak redaksi detikcom untuk menghapus artikelnya. Menanggapi hal itu, detikcom telah menarik konten tulisan serta mengganti judulnya. Insiden ini lantas menuai perhatian publik, tak terkecuali dari kalangan pegiat pers dan organisasi masyarakat sipil. Berikut ragam tanggapan di kasus intimidasi penulis kolom tersebut.
Komnas HAM Akan Mintai Keterangan Dewan Pers
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi perhatian pada dugaan intimidasi di balik penghapusan artikel Detikcom berjudul 'Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?'. Untuk itu Komnas HAM berencana meminta keterangan dari Dewan Pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Komnas HAM sedang memantau kasus takedown opini di Detikcom, dan akan meminta keterangan, dan koordinasi dengan Dewan Pers," kata anggota Komnas HAM Uli Parulian Sihombing, Ahad, 25 Mei 2025.
Dewan Pers Ungkap Belum Berikan Rekomendasi
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat mengatakan lembaganya belum memberikan rekomendasi atau permintaan kepada redaksi detikcom untuk mencabut artikel opini setelah penulisnya mengaku diintimidasi orang tak dikenal. Namun, kata dia, Dewan Pers telah menerima laporan dari penulis.
“Dewan Pers belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi detikcom untuk mencabut artikel opini tersebut. Dan saat ini tengah melakukan verifikasi dan mempelajarinya," kata Komaruddin Hidayat dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu, 24 Mei 2025.
Komaruddin mengatakan, Dewan Pers menghormati kebijakan redaksi media, termasuk untuk melakukan koreksi atau pencabutan berita dalam rangka menjaga akurasi, keberimbangan, dan memenuhi kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik.
Namun, ia menegaskan, bahwa setiap pencabutan berita harus disertai dengan penjelasan yang transparan kepada publik agar tidak menimbulkan spekulasi, serta tetap menjaga akuntabilitas media.
Dewan Pers juga mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di Detik.com. Ia mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa.
AJI Indonesia Kecam Tindakan Intimidasi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam tindakan intimidasi dan pembungkaman penulis kolom opini di situs berita detikcom. Koordinator Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung menyebut penghapusan tulisan tersebut sebagai bentuk represif terhadap kebebasan berpendapat.
Menurut Erick, kebebasan berpendapat dan ekspresi dijamin konstitusi. “Kami melihat ini pola-pola zaman Orde Baru kembali terjadi. Ini mencederai demokrasi khususnya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat karena hak itu amanat konstitusi ya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945,” kata Erick dihubungi Jumat, 23 Mei 2025.
AJI mengecam atas segala tindakan pembungkaman, intimidasi, kekerasan, terhadap siapa pun, baik dari masyarakat sipil yang menyampaikan aspirasi-kritiknya maupun jurnalis dan media yang memproduksinya. Karena kebebasan berpendapat dijamin oleh UUD 1945. “Tidak boleh ada tindakan pembungkaman. Adanya takedown itu menunjukkan adanya pembungkaman aspirasi publik,” ucap dia.
Ia menyebut pembungkaman ini tidak hanya melanggar prinsip demokrasi, tetapi juga mencederai hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan terbuka. “Negara harus hadir. Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan dan menghentikan segala bentuk tindakan represif serta intimidatif seperti ini,” ujar Erick.
KIKA Desak Aparat Hukum Usut Tuntas Kasus Tersebut
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengecam dugaan intimidasi terhadap mahasiswa yang kritis soal militerisme. KIKA mendesak aparat hukum segera mengusut tuntas kejadian tersebut. Menurut anggota KIKA, Herdiansyah Hamzah, pelaku teror terhadap mahasiswa yang mengkritik TNI harus diungkap.
"Teror atas tulisan, pendapat, dan upaya konstitusional harus didesak pertanggungjawabannya," kata Herdiansyah Hamzah dalam keterangan tertulis, Sabtu, 24 Mei 2025.
Menurut KIKA, apa yang dilakukan para mahasiswa itu merupakan hak warga untuk mengekspresikan pendapat dan bagian dari kebebasan akademik. “Maka dari itu, wajib mendapat perlindungan hukum konstitusional dan hak asasi manusia,” ujar Herdiansyah.
KIKA menilai praktik militerisme yang antikritik dapat merusak tradisi berpikir kritis dan melemahkan prinsip negara hukum demokratis. Mereka meminta semua pihak, khususnya lembaga negara, berpihak pada kebebasan akademik sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2021.
M. Rizki Yusrial, Sultan Abdurrahman, Mutia Yuantisya, Eka Yudha Saputra, dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini