Dekan Fakultas Hukum UNS soal Korupsi Pagar Laut: Polisi Wajib Melaksanakan Petunjuk Jaksa

12 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pagar laut Tangerang terus mendapat sorotan publik. Terlebih setelah Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) menangguhkan penahanan empat tersangka dalam kasus tersebut lantaran masa penahanan mereka telah habis pada Kamis, 24 April 2025.

Pakar Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Muhammad Rustamaji berpendapat petunjuk dari Kejaksaan Agung yang menilai kasus pagar laut masuk tuduhan tindak pidana korupsi itu masuk akal. Terlebih pagar laut yang membentang sepanjang 30,6 kilometer (km) dinilai sistematis. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Selain kerugian mencapai mencapai puluhan miliar, ada 20 perusahaan besar bisa-bisanya memiliki 260 SHM (sertifikat hak milik) di pagar laut," ujar Rustamaji dalam diskusi Jejaring Analytics, Research, and Communication (Jarcomm) Nusantara Series IV bertema Polisi Tolak Petunjuk Jaksa dalam Kasus Pagar Laut. Ada Apakah? yang diadakan secara daring pada Jumat, 2 Mei 2025.

Rustamaji menilai jaksa tidak akan serampangan dalam memberikan petunjuk. Adapun tindakan penyidik Polri yang menolak petunjuk JPU itu, menurutnya harus dikoreksi. Sebab jika dibiarkan akan merembet kepada kasus-kasus yang lain yang ujungnya merusak prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana terpadu yang diiterapkan di Indonesia. 

"Jadi kalau hanya Pasal 263 yang diputuskan Bareskrim Polri tidak layak untuk kasus sebesar itu. Patut dicurigai dan dipertanyakan,” katanya.

Dekan Fakultas Hukum UNS itu mengatakan dalam sistem hukum Indonesia hubungan antara penyidik dan penuntut umum tidak dapat dipisahkan dan diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Penyidik kepolisian seharusnya mau menerima setiap petunjuk jaksa dalam pengusutan kasus. Karena yang bertanggung-jawab dalam pembuktian di persidangan adalah jaksa selaku penuntut umum bukan penyidik polisi,” ungkap dia.

Lebih lanjut Rustamaji menyatakan jika kepolisian bersikukuh dengan Pasal 263 dan tidak membuka jalan Undang-undang (UU) Tipikor seperti petunjuk jaksa, justru ke depan nama Polri jadi taruhan. Mengingat pagar laut adalah kasus besar dan ekspektasi masyarakat begitu besar.

Bahkan kasus pagar laut yang mencuat Januari 2025 lalu, ternyata tidak hanya dilaporkan ke polisi. Tapi ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, karena surat keputusan bersama (SKB), maka polisi yang melakukan penyidikan dahulu.

"Laporannya dugaan korupsi. Jika masih ngotot dengan Pasal 263 dan menolak petunjuk masukan jaksa, citra kepolisian bisa redup," katanya. 

Rustamaji menambahkan seharusnya ada hal yang bisa ditelisik lebih lanjut melalui masukan jaksa yang berlandaskan Pasal 2 dan 3 UU Tipikior dengan pencabutan kewenangan. Menurut dia, polisi seharusnya selain memakai Pasal 263 juga bisa dilapisi Pasal 55 KUHP yang bisa difungsikan sebagai pemidanaan seseorang. 

"Di balik Kades (kepala desa) Kohod siapa? Maka harus dibuka. Jika ada masukan jaksa, kewajiban polisi untuk melaksanakannya. Jangan berhenti Pasal 263, lanjut ke Pasal 55," katanya.

Badrus Zaman dari Perhimpunan Advokat Indonesia Peradi (Peradi) Jawa Tengah menilai jika penanganan pagar laut tidak lazim. Terlebih penyidik Polri menolak petunjuk dari Kejaksaan. 

"Seharusnya penyidik dengan jaksa koordinasi aktif, terlebih pagar laut kasus besar yang menjadi perhatian publik," kata Badrus. 

Dia meyakini petunjuk jaksa agar kasus pagar laut memakai UU Tipikor, adalah transparansi dalam hukum. Sehingga tidak hanya menjerat dengan Pasal 263 tentang Pamalsuan Dokumen. 
 
"Kita harus menyelamatkan peradilan kita. Harus diperbaiki. Kalau petunjuk kejaksaan itu jelas, polisi juga bisa bertanya dan berdiskusi secara profesional," ungkap dia. 

Badrus menambahkan melalui petunjuk Kejaksaan Agung, seharusnya penyidik kepolisian bisa mengembangkan kasus sehingga tidak hanya berhenti di Kades Kohod. Polisi harus berani memeriksa pembuat SHM di pagar laut yang jumlahnya ratusan dokumen itu. Ia menyebut tidak tertutup kemungkinan jika kasus dikembangkan akan ada tersangka-tersangka lainnya. 

"Kejaksaan sudah memberikan petunjuk, polisi bisa bergerak siapa-siapa yang harus diperiksa lagi," ucap dia. 

Dalam kasus pagar laut, penyidik Bareskrim bersikukuh memakai Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen. Sementara Kejaksaan Agung yakin menjerat pelaku dengan UU tindak pidana korupsi (Tipikor) sehingga memberikan masukan kepada penyidik Polri agar juga memasukkan jeratan tindak pidana korupsi.

Read Entire Article
Parenting |