Penduduk Miskin: BPS Jelaskan Perbedaan dengan Versi Bank Dunia

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan penjelasan terkait perbedaan mencolok antara angka penduduk miskin Indonesia versi BPS dengan yang dilaporkan Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025.

Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyebutkan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan global.

Sementara itu, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional per September 2024 hanya sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan bahwa perbedaan angka tersebut tidak mencerminkan kontradiksi, melainkan disebabkan oleh perbedaan metodologi dan tujuan penghitungan.

“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda,” kata Amalia dalam pernyataan resmi, Jumat, 2 Mei 2025.

Metodologi Bank Dunia dan PPP
Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli untuk menilai kemiskinan secara global, dengan tiga tingkatan garis kemiskinan:
- US$ 2,15 PPP untuk kemiskinan ekstrem,
- US$ 3,65 PPP untuk negara berpendapatan menengah bawah,
- US$ 6,85 PPP untuk negara berpendapatan menengah atas.

Indonesia dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) sejak 2023 dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$ 4.870. Oleh karena itu, Bank Dunia menggunakan standar US$ 6,85 PPP untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Nilai tersebut setara dengan Rp5.993,03 per kapita per hari pada tahun 2024, yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan dari 37 negara dalam kategori serupa.

Namun, Amalia menekankan bahwa angka dari Bank Dunia hanya bersifat referensial dan tidak wajib diterapkan secara mutlak oleh tiap negara.

"Dengan demikian, apabila memperhatikan lebih detail, selain poverty line atau garis kemiskinan standar Bank Dunia, banyak negara yang memiliki garis kemiskinan di masing-masing wilayahnya yang dihitung sendiri berdasarkan keunikan dan standar hidupnya," kata Amalia yang dikutip Antara, pada Rabu, 30 April 2025, di kompleks Istana Kepresidenan RI, Jakarta.

Oleh karena itu, menurut dia, standar hidup di Provinsi DKI (Jakarta) tidak akan sama dengan standar hidup di provinsi, misalnya Papua Selatan.

https://www.antaranews.com/berita/4805597/bps-data-bank-dunia-60-persen-warga-indonesia-miskin-hanya-referensi

Pendekatan BPS: Kebutuhan Riil Masyarakat
BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) yang menghitung jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan. Untuk makanan, standar konsumsi ditetapkan sebesar 2.100 kilokalori per orang per hari dari bahan pangan umum seperti beras, telur, tahu, dan sayur. Sedangkan kebutuhan non-makanan meliputi perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Data dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali setahun. Pada 2024, survei ini mencakup 345.000 rumah tangga pada Maret dan 76.310 rumah tangga pada September.

Per September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Dengan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 orang, maka garis kemiskinan rumah tangga setara dengan Rp2.803.590 per bulan. Angka ini bervariasi antarwilayah, seperti di DKI Jakarta (Rp4.238.886) dan Nusa Tenggara Timur (Rp3.102.215).

BPS meminta masyarakat memahami bahwa kedua data tersebut tidak bertentangan, melainkan memiliki tujuan dan konteks yang berbeda. “Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu per hari bukan orang miskin,” jelasnya.

Anastasya Lavenia Y turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.


Pilihan editor:  

Read Entire Article
Parenting |