Profil Marsudi Wahyu Kisworo, Rektor Universitas Pancasila yang Diduga Dicopot karena Kasus Edie Toet

TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Marsudi Wahyu Kisworo dicopot dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Pancasila oleh Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP). Marsudi menilai pencopotan mendadak ini diduga lantaran sikapnya membela korban dugaan kekerasan seksual eks Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno (ETH).

"Saya terima surat pemberhentian itu mendadak, tanpa pemberitahuan sebelumnya," kata Marsudi kepada Tempo, saat dihubungi Senin malam, 28 April 2025.

Berdasarkan pengakuan Marsudi kepada Tempo, ada permintaan kepadanya untuk mengaktifkan kembali status Edie Toet sebagai dosen Universitas Pancasila pada Agustus 2024. Namun ia menolak permintaan itu dan mendesak agar Edie justru diberhentikan, alih-alih sekadar dinonaktifkan.

“Di situ yayasan agak marah kepada saya dan ada ancaman. Misal kalau nggak nurut nanti dievaluasi,” ujar Marsudi saat ditemui Tempo di ruang anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis, 30 April 2025. Saat ini, Marsudi menjabat sebagai Dewan Pengarah BRIN.

Sementara itu, pihak yayasan membantah pemberhentian Marsudi Wahyu Kisworo sebagai rektor berkaitan dengan kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret Edie Toet Hendratno. "Saya tidak melihat ada kaitannya dengan kasus ETH yang saat ini sedang diproses di kepolisian," ujar Ketua Pengurus YPP UP Muhammad Anis, Kamis, 1 Mei 2025.

Melansir dari laman pribadinya, Marsudi lahir di Kediri pada 29 Oktober 1958. Dia merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung pada jurusan Teknik Elektro dengan spesialisasi Teknik dan Sistem Komputer. Setelah lulus, dia merantau ke Jakarta dan bekerja di PT Elnusa. Saat itu, dia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta, seperti STMIK Bina Nusantara dan STMIK Budi Luhur.

Tahun 1989 Marsudi melanjutkan studi S2 di Curtin University of Technology, Perth, Australia dengan sponsor dari Australian International Development Assistance (AIDAB). Program studi yang seharusnya ditempuh selama 2.5 tahun itu diselesaikan Marsudi dalam waktu satu tahun. Dia kemudian mendaftar untuk studi S3 di kampus dan bidang studi yang sama. Marsudi pun meraih gelar doktornya pada Oktober 1992.

Pulang dari Australia, Marsudi kembali ke STMIK Bina Nusantara sebagai Direktur Penelitian dan Direktur Program Pasca Sarjana. Pada 1998, Marsudi diajak Nurcholish Madjid atau Cak Nur bersama beberapa alumni Islamic Network untuk mendirikan Universitas Paramadina. Dia pun ditunjuk sebagai Deputi Rektor bidang Sumberdaya sekaligus Direktur Utama PT. Amanah Paramadina.

Pada tahun 2002, Marsudi dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Teknologi Informasi oleh pemerintah, menjadikannya sebagai profesor pertama di bidang tersebut sekaligus salah satu yang termuda saat menerima gelar itu. Tiga tahun kemudian, pada 2005, ia dipercaya menjabat sebagai Komisaris Utama PT Scientific Digital Business Indonesia.

Selain itu, Marsudi juga pernah menjadi anggota Badan Pertimbangan Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan HAM RI untuk periode 2014–2019. Pada 2015, ia ditunjuk sebagai Ahli Khusus di bidang Telematika untuk Kementerian Pertahanan. Kemudian, pada 2019, ia dipercaya menjadi pembimbing dalam Program Menuju 100 Smart City yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Jihan Ristiyanti dan Intan Setiawanty berkontribusi dalam penulisan artikel ini