TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menghapus sistem ketenagakerjaan outsourcing (tenaga kerja alih daya). Pernyataan itu disampaikannya ketika menanggapi tuntutan para buruh dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.
“Saya juga akan meminta Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional segera mengejar bagaimana caranya agar kita bisa, kalau tidak segera, secepat-cepatnya menghapus outsourcing,” kata Prabowo dalam pidatonya. Lantas, seperti apa asal-usul sistem outsourcing?
Sejarah Outsourcing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir repository.uin-suska.ac.id, praktik dan prinsip-prinsip outsourcing telah diterapkan di zaman Yunani dan Romawi Kuno. Kala itu, prajurit-prajurit asing disewa untuk berperang serta para ahli bangunan asing dipekerjakan untuk membangun kota dan istana akibat kekurangan tenaga dan kemampuan sumber daya manusia (SDM).
Namun, sejarah outsourcing baru dimulai ketika seorang filsuf bernama Adam Smith memiliki ide pada 1776. Dia menyarankan perusahaan-perusahaan menyerahkan operasional salah satu unit bisnisnya kepada perusahaan lain yang mempunyai kompetensi dan spesialisasi dalam proses produksi, dengan tujuan agar lebih efektif dan efisien.
Gagasan Smith itu kemudian dikembangkan oleh Coase pada 1973. Coase menyatakan bahwa proses produksi barang/jasa seharusnya hanya dikelola oleh perusahaan apabila biayanya lebih rendah daripada harga di pasaran.
Selanjutnya, pada rentang waktu antara 1970 hingga 1980-an, pengusaha menghadapi persaingan global dan mengalami kesulitan karena kurangnya kesiapan terkait struktur manajemen yang membengkak. Imbasnya, risiko usaha dalam segala hal terus meningkat, termasuk di sektor ketenagakerjaan.
Sekitar tahun 1990, outsourcing mulai berperan sebagai jasa pendukung karena manajemen perusahaan dituntut untuk melakukan perhitungan pengurangan pembiayaan operasional. Sistem outsourcing banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan karena dinilai efisien, efektif, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.
Perkembangan Outsourcing di Indonesia
Mengacu pada lib.ui.ac.id, praktik outsourcing di Indonesia telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Praktik outsourcing dapat dilihat dari adanya pengaturan mengenai pemborongan pekerjaan melalui Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan merupakan suatu kesepakatan kedua belah pihak yang saling mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.
Kemudian, merujuk pada eprints.walisongo.ac.id, legalisasi pemanfaatan jasa outsourcing baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Keputusan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menggantikan 15 peraturan ketenagakerjaan.
Kesepakatan dalam UU Ketenagakerjaan menyangkut pekerjaan lepas yang hanya boleh dilakukan selama 2 tahun, sedangkan pekerja outsourcing paling lama 5 tahun. Outsourcing sendiri tidak disebutkan secara jelas dalam undang-undang, tetapi menggunakan istilah penyerahan sebagian pelaksanaan kerja kepada perusahaan lain.
Seiring dengan dilegalkannya praktik outsourcing melalui UU Ketenagakerjaan, banyak kritik yang bermunculan. Tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja/buruh.