APHR dan CPJ Serukan Kebebasan Pers dan Perlindungan Jurnalis di Asia Tenggara

11 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) dan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyerukan tindakan segera untuk menjaga kebebasan pers dan melindungi jurnalis di seluruh Asia Tenggara. Seruan itu mereka sampaikan bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Sabtu, 3 Mei 2025.

APHR dan CPJ menyoroti peningkatan upaya pemerintah di Asia Tenggara yang mengendalikan narasi, mengintimidasi wartawan, dan memanipulasi teknologi, jurnalisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APHR dan CPJ mencatat jumlah jurnalis yang dipenjara mencapai rekor tertinggi secara global, termasuk di Asia Tenggara. Mereka menilai media menghadapi tingkat bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

"Kebebasan pers bukan sekadar simbol demokrasi—melainkan hakikatnya,” kata Ketua APHR dan anggota DPR Indonesia Mercy Chriesty Barends, dikutip dari laman resmi APHR. 

“Ketika jurnalis dibungkam, warga negara tidak diberi tahu. Hari Kebebasan Pers Sedunia ini merupakan seruan bagi anggota parlemen di seluruh kawasan untuk bangkit, bersuara, dan membela hak untuk tahu.”

Berkenaan dengan itu, Kepala Eksekutif CPJ Jodie Ginsberg menyebut jurnalis di Asia Tenggara berada di garis depan perlawanan terhadap otoritarianisme. Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah di bawah ASEAN berhenti memperlakukan pers sebagai ancaman. 

"Jurnalis menyampaikan berita yang penting bagi keselamatan dan stabilitas kita, tetapi kemampuan mereka untuk melakukannya menghadapi tingkat serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Ginsberg. 

APHR dan CPJ menyebut bahwa Asia Tenggara tetap menjadi salah satu tempat terburuk bagi jurnalis, dengan sedikitnya 52 jurnalis berada di balik jeruji besi pada 1 Desember 2024, menurut sensus penjara global tahunan terbaru CPJ.

Sementara itu, Filipina dan Myanmar secara konsisten menempati peringkat teratas sebagai tempat para pembunuh jurnalis dibebaskan.

Di Indonesia dan Malaysia, media berita independen terkemuka seperti Tempo dan Malaysiakini menghadapi tekanan atas pekerjaan inovatif mereka dalam mengungkap korupsi dan pelanggaran. 

Di Filipina, wartawan menghadapi pelecehan hukum, serangan digital, dan ancaman penjara berdasarkan undang-undang pencemaran nama baik di dunia maya. Di Myanmar, pers telah dihancurkan oleh rezim militer, dengan jurnalis yang dipenjara, disiksa, atau dibunuh. 

Tindakan keras serupa terhadap independensi media sedang berlangsung di Kamboja, Vietnam, dan Thailand—melalui undang-undang yang mengkriminalisasi "berita palsu," "pencemaran nama baik," atau ancaman yang didefinisikan secara samar terhadap "keamanan nasional." 

"Undang-undang yang represif digunakan untuk menyamarkan otoritarianisme sebagai legalitas," tutur Dewan APHR dan Anggota Parlemen Malaysia, Wong Chen. 

"Apa yang kita saksikan adalah perang hukum terhadap kebenaran. Jurnalis yang menantang kekuasaan diperlakukan sebagai musuh negara, padahal sebenarnya, mereka adalah pembela kepentingan publik." 

APHR dan CPJ menyebut ancaman tersebut juga bersifat digital. Selain itu, kecerdasan buatan (AI) kini juga disalahgunakan sebagai alat penindasan, digunakan untuk mengotomatiskan pengawasan, menghasilkan berita palsu, dan membanjiri ruang publik dengan disinformasi yang disponsori negara. Lebih dari itu, algoritma media sosial memperkuat propaganda sambil membungkam suara-suara independen. 

"AI seharusnya melayani kebenaran, bukan menyabotasenya," ucap Anggota Dewan APHR dan Anggota DPR Thailand Rangsiman Rome.

“Rezim otoriter menggunakan teknologi digital untuk membungkam perbedaan pendapat secara langsung. Kita sangat membutuhkan tata kelola AI yang etis yang melindungi kebebasan berekspresi—bukan merusaknya."

Lebih lanjut, APHR dan CPJ juga menyebut independensi media semakin terkikis oleh meningkatnya konsentrasi kepemilikan di tangan yang memiliki hubungan politik.

Menurut mereka, kebijakan editorial semakin ditentukan oleh pengiklan yang memiliki hubungan dengan negara dan kepentingan elit sehingga mengubah ruang redaksi menjadi ruang kekuasaan yang saling bergema.

“Jurnalisme bukanlah kejahatan. Itu adalah tugas sipil. Pers yang dibungkam tidak menjamin stabilitas—itu memastikan impunitas. Ketika jurnalisme mati, demokrasi akan menyusul. Kita tidak boleh membiarkan kebungkaman itu menentukan masa depan Asia Tenggara”, kata Anggota Dewan APHR dan Anggota DPR Filipina Arlene Brosas. 

Tak sampai di situ, Anggota Dewan APHR dan Anggota Parlemen Timor Leste Angelina Sarmento mengatakan bahwa tanpa kebebasan pers, tidak akan ada akuntabilitas yang nyata, tidak ada transparansi yang berarti, dan tidak ada demokrasi yang berfungsi.

“Kita harus membalikkan arus berbahaya ini melalui tindakan kolektif regional—dari parlemen hingga masyarakat sipil dan seterusnya," ujarnya. 

Adapun APHR dan CPJ menyerukan tiga poin sebagai berikut:

1. Pembentukan aliansi antarparlemen untuk menegakkan kebebasan pers dan melawan senjata hukum dan teknologi terhadap jurnalis; 
2. Mekanisme perlindungan yang lebih kuat bagi wartawan, pekerja media, dan whistleblower yang menghadapi ancaman; 
3. Reformasi legislasi represif yang mengkriminalisasi jurnalisme yang sah dengan tuduhan yang tidak jelas atau luas; dan
4. Keterlibatan aktif ASEAN dalam melindungi kebebasan pers dan ruang demokrasi di kawasan tersebut.

Read Entire Article
Parenting |