TEMPO.CO, Jakarta - Pria asal Belanda Chaim Joel Fetter tidak akan pernah lupa perjalanannya mampir ke Lombok Indonesia pada 2004. Saat pertama kalinya ia datang, Fetter bertemu Adi, seorang anak laki-laki bertelanjang kaki yang mengemis di lampu merah. Adi telah kehilangan kedua orang tuanya dan tinggal sendirian di bawah selembar terpal. Perjalanan itu sangat membekas sehingga mengubah perjalanan hidup Fetter. "Saat itu hati ini seperti ditinju. Saya tidak bisa melupakannya saat pulang ke rumah. Apa artinya kesuksesan yang saya genggam kalau masih ada anak-anak seperti Adi yang menderita?" kata Fetter dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 29 April 2025.
Setelah pertemuan itu, Fetter kembali ke Belanda untuk menjual perusahaannya dan kembali ke Indonesia. Kali ini ia datang bukan untuk cuti panjang dan berlibur, tetapi demi sebuah misi. Pada tahun 2006, ia bersama istri dan beberapa teman dekat mendirikan Yayasan Peduli Anak dan membuka Pusat Kesejahteraan Anak pertama di Lombok. Lembaga itu dibangun di atas lahan seluas 2,2 hektar. Di tanah itu ia menyiapkan 14 rumah berkonsep keluarga, sebuah masjid, sekolah dasar dan menengah pertama, klinik kesehatan, lapangan olahraga, dan kebun organik. Setiap rumah diasuh oleh seorang ibu asuh terlatih, menciptakan lingkungan keluarga yang stabil dan penuh kasih sayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun 2019, seiring dengan meningkatnya permintaan dan mencuatnya kisah anak terlantar di daerah terpencil, Yayasan Peduli Anak memperluas misinya ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sebuah pulau tertinggal dengan akses layanan pemerintah yang sangat terbatas dan penelantaran anak merupakan hal tragis yang sayangnya lumrah terjadi. "Ini sangat memilukan," ujar Fetter.
Fetter kerap mendengar kisah anak-anak yang ditinggalkan karena orang tua mereka menikah lagi atau pergi merantau untuk bekerja. "Ada yang tidur di gubuk terbengkalai. Bahkan, ada yang tidak makan berhari-hari," tambahnya.
Salah satu anak, Obi, terpaksa putus sekolah setelah ayahnya meninggal. Kini anak 13 tahun ini bekerja di bengkel pemotongan kaca tanpa perlengkapan pelindung. Ia berusaha untuk menghidupi ibu dan adiknya. Ia dan adiknya menderita infeksi kulit yang tidak pernah diobati. Anak lain, Ray, terbiasa tidur di atas tikar dalam gubuk terbengkalai. Anak 11 tahun ini harus mengais makanan dan mengetuk pintu tetangga demi sisa makanan. Obi masih bisa tinggal bersama keluarganya jika ia menerima dukungan harian untuk memenuhi kebutuhan makan, pendidikan bagi dirinya dan adiknya, serta biaya perawatan kesehatan mereka. Sementara Ray, yang sebatang kara, bisa tinggal penuh waktu di Pusat Kesejahteraan Anak. "Ada 150 anak seperti Obi dan Ray yang sudah menunggu untuk tinggal di tempat ini, 150 anak lainnya dari desa sekitar siap untuk bersekolah dan makan bersama kami setiap hari," kata Fetter.
Lama berinteraksi dengan masyarakat lokal membuat Fetter memeluk Islam. Ia terinspirasi oleh kemurahan hati dan kehangatan orang Islam yang ditemuinya. “Bahkan keluarga yang sangat miskin berbagi sedikit dari apa yang mereka miliki,” ujarnya. “Masuk Islam rasanya seperti menemukan keluarga dan makna hidup yang lebih dalam."
Namun, motivasi Fetter dalam menolong anak di Nusa Tenggara Barat tidak semata-mata terinspirasi dari apa yang ia lihat, melainkan berakar dari pengalaman hidupnya sendiri. Setelah orang tuanya bercerai, ia ditempatkan di panti asuhan di Belanda saat berumur enam tahun. “Saya tahu rasanya menjadi anak yang tidak dipedulikan siapa pun. Perasaan diabaikan itu tidak pernah benar-benar hilang. Saya masih sering mimpi buruk, memimpikan saat orang tua saya meninggalkan saya di sana, dan saya berlari mengejar mereka. Saya bertekad untuk membangun tempat anak-anak agar bisa pulih, disayangi, dan merasa seperti di rumah,” katanya.
Meskipun menghadapi tantangan logistik besar dalam mengangkut material dari Lombok dan Jawa, serta berbagai hambatan akibat pandemi COVID-19, Fetter dan timnya tidak menyerah. Kini, berkat donasi dari masyarakat dan perusahaan swasta, pusat kesejahteraan anak di Sumbawa hampir rampung. Ia berusaha membangun sebuah desa anak yang sepenuhnya mandiri, bukan sebuah penampungan biasa. Di daerahnya, terdapat dua belas rumah, sekolah, masjid, klinik kesehatan, sport center, dapur yang mampu menyiapkan 900 porsi makanan setiap hari, dan kebun organik yang menyediakan buah serta sayuran segar untuk anak-anak. Fasilitas ini akan menyediakan perawatan menyeluruh bagi 300 anak, termasuk 150 anak yang tinggal penuh waktu dan 150 siswa harian dari desa-desa miskin di sekitarnya.
Tempat itu juga akan mempekerjakan staf lokal, membeli hasil panen petani sekitar dengan harapan bisa menciptakan efek berantai bagi perekonomian setempat. Namun saat ini, belum ada satu pun rumah yang dilengkapi perabotan. Tanpa ranjang, 150 anak yang telah dirujuk belum bisa menempati rumah-rumah tersebut. Dua belas rumah indah itu pun masih kosong dan belum bisa dihuni.
Pusat Kesejahteraan Peduli Anak, proyek yang telah dikerjakan hampir lima tahun, kini 95 persen telah rampung. Ruang kelas sudah siap, para ibu asuh telah dilatih, dan dua belas rumah indah berdiri kokoh. Namun sayangnya pusat kesejahteraan untuk 300 anak di Sumbawa itu masih belum ada fasilitas tempat tidur di tempatnya itu. Jika bantuan mendesak tidak segera datang, lebih dari 150 anak rentan di Sumbawa, ini tidak punya pilihan selain tidur di lantai rumah baru mereka. Semua rumah itu belum dilengkapi perabotan. Tanpa ranjang susun dan perlengkapan penting lainnya, fasilitas ini masih belum siap digunakan sepenuhnya.
Sejumlah mitra besar seperti ING Bank, PT Bayan Resources, TOTO, Signify, Broco, Avian Paints, Simu, dan Häfele turut berkontribusi melalui donasi meja belajar, material bangunan, dan pendanaan. Walau sudah mendapatkan beberapa dukungan, Fetter mengatakan ia masih memerlukan lebih banyak tempat tidur untuk anak-anak yang dia asuh. "Ini bukan sekadar amal, ini tentang martabat. Ini tentang pemulihan. Ini adalah masa kecil yang sesungguhnya, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup mereka," ujar Fetter.
Hingga kini, lebih dari 8 ribu orang Indonesia telah berdonasi. Anak-anak sekolah mengadakan penggalangan dana dengan menjual aksesori buatan mereka, seperti gelang dan kalung dari manik-manik. Banyak masyarakat turut menyumbang setelah mengetahui misi Fetter melalui media sosial. Beberapa pemilik usaha lokal juga menyelenggarakan acara penggalangan dana. "Ini telah menjadi proyek milik bersama. Bahkan orang- orang yang belum pernah ke Sumbawa ikut menyumbang, karena mereka percaya pada apa yang sedang kami lakukan,” kata Fetter.
Bagi Chaim Fetter ini bukan hanya tentang Sumbawa, ia melihat tempat yang dia bangun ini sebagai cetak biru berskala nasional. "Jika kami bisa membuktikan ini berhasil, maka pendekatan ini bisa direplikasi oleh lembaga swadaya masyarakat, komunitas, bahkan pemerintah. Mungkin suatu hari nanti, tidak ada lagi anak Indonesia yang harus tidur di lantai, putus sekolah, atau mengalami kekerasan dan penelantaran," katanya.
Usahanya melindungi anak tidak sia-sia. Yayasan Peduli Anak telah mendukung ribuan anak. Banyak di antara mereka yang telah lulus kuliah dan kembali bekerja di pusat ini sebagai guru, konselor, perawat, dan akuntan. Yayasan ini telah meraih berbagai penghargaan nasional, termasuk Kick Andy Heroes Award dan Piagam Apresiasidari Komisi Perlindungan Anak Indonesia.