Koalisi Masyarakat Sipil Desak Panglima TNI Batalkan Pasukan Pengamanan di Kejati dan Kejari

17 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyesalkan telegram Panglima TNI berwarkat 5 Mei 2025. Isinya, perintah penyiapan dan pengerahan alat kelengkapan dukungan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, perintah ini bertentangan dengan banyak peraturan perundang-undangan. Terutama konstitusi, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang Pertahanan Negara, serta Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil, khususnya di wilayah penegakan hukum," ujar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan pada Ahad, 11 Mei 2025.

Menurut Koalisi ini, tugas dan fungsi TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan. TNI juga tidak patut masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai instansi sipil. Apalagi hingga saat ini, belum ada regulasi tentang perbantuan tentara dalam rangka operasi militer selain perang (OMSP) sehubungan tugas perbantuan itu dilaksanakan.

"Kami menilai bahwa kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. "MoU tersebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI itu sendiri."

Koalisi ini menuturkan, perintah dalam telegram Panglima TNI itu bertujuan mendukung pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh indonesia. Namun, pengamanan institusi sipil penegak hukum kejaksaan tidak memerlukan dukungan berupa pengerahan personil TNI. Sebab, tidak ada ancaman yang mengharuskan pengerahan satuan tentara.

Pengamanan institusi sipil penegak hukum, kata Koalisi ini, bisa dilakukan oleh misalnya satuan pengamanan dalam (satpam) kejaksaan. Dengan demikian, Koalisi tersebut menilai surat telegram itu sangat tidak proporsional.

"Koalisi Masyarakat Sipil memandang bahwa surat perintah ini berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia," kata Koalisi ini. Sebab, kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan TNI.

Pada aspek ini, intervensi TNI di ranah penegakan hukum akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia. Kondisi tersebut menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan.

"Surat perintah pengerahan ini semakin menguatkan dugaan masyarakat akan kembalinya dwifungsi TNI," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Dugaan kembalinya dwifungsi menguat setelah UU TNI direvisi beberapa bulan lalu. Bahkan, sebuah pasal menyebutkan Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi yang dapat diintervensi oleh TNI.

Catatan risalah sidang dan revisi yang menegaskan, penambahan Kejaksaan Agung di dalam revisi UU TNI hanya khusus untuk Jaksa Agung Tindak Pidana Militer (Jampidmil), ternyata tidak dipatuhi oleh surat telegram Panglima TNI. Jelas-jelas pengerahan pasukan bersifat umum untuk semua Kejati dan Kejari.

"Kami mendesak Panglima TNI mencabut Surat Perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan," ujar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Koalisi tersebut juga mendesak jajaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk pimpinan Komisi I DPR, Komisi III DPR, dan Komisi XIII DPR untuk menjamin tidak adanya dwifungsi TNI. Koalisi ini juga mendesak DPR untuk meminta Presiden dan Menteri Pertahanan memastikan pembatalan Surat Perintah tersebut. Ini sebagai upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berisi sejumlah lembaga, seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure.

Read Entire Article
Parenting |