Pemerintah Diminta Manfaatkan Kenaikan Tarif Royalti Minerba untuk Akselerasi Transisi Energi

7 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah, Al Ayubi, mengatakan pemerintah harus memanfaatkan kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) untuk mempercepat transisi energi. Dana yang diperoleh dari kebijakan ini seharusnya dialokasikan untuk membangun sektor energi hijau, melalui subsidi energi terbarukan dan insentif bagi investasi hijau. "Kenaikan royalti jangan hanya dipandang sebagai tambahan pendapatan negara," kata Ayubi dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Mei 2025.

Pemerintah menaikkan tarif royalti minerba melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025, yang berlaku efektif pada 26 April 2025. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor energi dan sumber daya mineral.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan royalti signifikan terjadi pada komoditas nikel. Tarif royalti bijih nikel yang sebelumnya 10 persen kini menjadi tarif progresif antara 14 persen hingga 19 persen, tergantung pada Harga Mineral Acuan (HMA). Untuk produk turunan seperti nickel pig iron dan feronikel, tarif royalti naik menjadi 5 persen hingga 7 persen, sementara nickel matte dikenakan tarif 4,5 persen hingga 6,5 persen.

Ayubi berpendapat kenaikan tarif royalti minerba perlu dimanfaatkan untuk mendukung transisi energi. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah baru mengalokasikan dana sekitar Rp 34,2 triliun per tahun untuk energi terbarukan, jauh di bawah kebutuhan riil sebesar Rp 148,3 triliun per tahun. Ayubi mengatakan situasi ini menyulitkan pencapaian target bauran energi nasional dan pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC).

Investasi swasta untuk sektor energi terbarukan masih rendah. Mengutip catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), Ayubi menyebutkan investasi swasta untuk energi fosil sepanjang 2019-2021 masih dominan, yakni 73,4 persen, sementara untuk energi terbarukan baru 26,6 persen. Kesenjangan pendanaan ini menjadi hambatan utama transisi energi di Indonesia. "Karena itu, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan," ujarnya.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada pendekatan jangka pendek yang hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara. Ia berpendapat kebijakan royalti minerba harus menjadi instrumen strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara secara bertahap.

Hal itu dimulai dari mengurangi produksi batu bara dan penghentian operasional PLTU pada jaringan listrik PT PLN (Persero), maupun yang dibangun untuk kebutuhan tertentu atau PLTU captive—seperti di kawasan hilirisasi mineral. Pasalnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 masih mematok produksi batu bara hingga 700 juta ton per tahun, jumlah yang melampaui batas aman yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni 400 juta ton.

Aryanto menegaskan kenaikan royalti harus menjadi alat untuk memperbaiki tata kelola secara menyeluruh. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. "Utamanya, pemerintah sebaiknya tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) yang terbukti tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan," ujarnya. 

Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Target Swasembada Energi Prabowo Sulit Tercapai. Mengapa?

Read Entire Article
Parenting |