TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas membuka petisi tolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto pada 8 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI, Zaenal Muttaqien, mengatakan petisi ini dibuat karena mantan Presiden Soeharto tidak layak untuk diberikan kehormatan sebagai pahlawan nasional.
“Usulan gelar pahlawan untuk Soeharto sudah berkali-kali muncul setiap tahun. Sehingga kami bersama non-government organization, pembela hak asasi manusia, lembaga bantuan hukum dan lainnya selalu membuat petisi untuk menolaknya,” kata Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqien saat dihubungi Tempo, Selasa, 15 April 2025.
Hingga 16 April 2025 pukul 11.00 WIB, petisi berjudul “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!” sudah ditandatngani oleh 3.479 orang di situs web Change.org.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak agar Menteri Sosial Saifullah Yusuf hingga Dewan Gelar Pahlawan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk tidak mengusulkan nama Soeharto menjadi pahlawan yang akan dikukuhkan pada tahun 2025 ini.
“Kami menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina, kepada Tempo, 15 April 2025.
Jane meyakini usulan gelar pahlawan untuk Soeharto menguat setelah MPR telah mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan (Tap) MPR Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme pada September 2024. MPR mencabut nama Soeharto yang secara spesifik disebut pada Pasal 4.
Menurut Jane, pencabutan nama Soeharto juga bermasalah lantaran MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum setelah adanya Amandemen Undang-undang Dasar1945 pasca Reformasi. Bahkan, kata Jane, selama 32 tahun kepemimpinannya, Soeharto telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kekerasan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang tidak pernah diadili dan memberikan keadilan bagi para korban sampai saat ini.
Petisi tersebut juga mengungkap dugaan keterlibatan Soeharto selama berkuasa berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM menemukan bahwa terdapat sembilan kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto, yakni Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Tanjung Priok (1984); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah mengkaji 10 nama yang direkomendasikan untuk diberi gelar pahlawan nasional, termasuk dua mantan presiden, Soeharto dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemenaos Mira Riyati Kurniasih mengatakan dari sepuluh nama yang masuk, empat nama merupakan usulan baru, sedangkan enam nama lainnya telah diajukan dari tahun-tahun sebelumnya.
“Untuk tahun 2025, sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira, dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa, 18 Maret 2025.
Beberapa tokoh yang kembali diusulkan antara lain Gus Dur oleh Provinsi Jawa Timur, Soeharto oleh Jawa Tengah, Bisri Sansuri oleh Jawa Timur, Idrus bin Salim Al-Jufri oleh Sulawesi Tengah, Teuku Abdul Hamid Azwar oleh Aceh, dan Abbas Abdul Jamil oleh Jawa Barat.
Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini yakni Anak Agung Gede Anom Mudita oleh Provinsi Bali, Deman Tende oleh Sulawesi Barat, Midian Sirait oleh Sumatera Utara, dan Yusuf Hasim oleh Jawa Timur.
Adapun pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang merupakan Indonesia. Ia yang menerima gelar pahlawan nasional harus telah gugur atau meninggal demi membela negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan “prestasi dan karya yang luar biasa” bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia.
Untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat umum dan syarat khusus. Beberapa di antaranya yakni memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia, serta tidak mengkhianati bangsa dan negara.
Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini