Proses Evakuasi Korban Gempa Myanmar Sulit Akibat Junta Militer

1 day ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Myanmar, dengan kekuatan skala M 7,7 dan diikuti gempa susualan telah menewaskan lebih dari 10.000 orang dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang parah, terutama di Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu.

Gempa bumi ini semakin memperparah situasi, dengan banyaknya infrastruktur penting seperti bandara, jembatan, dan jalan raya yang rusak, menghambat upaya distribusi bantuan dan evakuasi korban.

Dampak dari gempa ini diperparah oleh infrastruktur yang sudah lemah akibat konflik berkepanjangan dan pengabaian selama empat tahun pemerintahan militer. Sejauh ini, masyarakat dan tim penyelamat pascabencana harus melakukan proses evakuasi sendiri karena kurangnya bantuan negara atas alat berat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibatnya, warga harus menggali reruntuhan dengan tangan kosong. Htet Min Oo, sebagai salah satu korban yang selamat mengatakan bahwa anggota keluarganya masih ada yang berada di bawah reruntuhan. Ia harus melakukan penyelamatan untuk dua paman dan neneknya lewat menggali sendiri reruntuhan dengan alat seadanya dan tangannya sendiri. 

Hal-hal ini mengakibatkan banyaknya bantuan kepedulian yang ingin dikirimkan. Belum lagi menyebutkan bahwa Junta Militer yang sedang berkuasa di negara ini menyerukan bantuan pertolongan. 

Namun, pihak-pihak komunitas Hak Asasi Manusia masih khawatir dan mempertimbangkan bantuan yang akan dikirimkan. Pasalnya, pengiriman bantuan dari luar negeri ataupun dari komunitas internasional dicurigai tidak akan bisa masuk untuk memberikan pertolongan karena kondisi politik pascakudeta 2021.  

Pemerintahan junta militer yang telah berkuasa ini mengharuskan semakin ketatnya penjagaan negara sehingga akses orang luar semakin dipersulit untuk masuk. Sejarah mencatat bahwa rezim militer seringkali menghalangi atau menunda distribusi bantuan, terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh oposisi. 

Misalnya, pada tahun 2023, setelah Topan Mocha melanda, junta militer menghalangi akses ke daerah-daerah terdampak bagi komunitas bantuan kemanusiaan, menyebabkan jutaan penduduk Myanmar berjuang tanpa bantuan yang memadai.

Walau demikian, beberapa bantuan sudah mulai dikerahkan seperti Amerika Serikat yang mulai mengerahkan USAID lewat tim ahli bencananya. Tim ini akan menyediakan kebutuhan dasar mulai dari makanan, air, dan posko kediaman sementara. Namun hal ini tidak langsung menajdi sebuah kelegaan karena keputusan Donald Trump sebagai presiden yang memimpin sudah memutus pendanaan dengan USAID. Akibat penutupan USAID dan pemutusan ribuan pegawai menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan AS dalam merespons krisis global, termasuk gempa di Asia saat ini. 

Masyarakat internasional sendiri masih terus mengharapkan adanya penekanan kepada junta militer Myanmar untuk memastikan bahwa bantuan kemanusiaan didistribusikan secara adil dan tepat sasaran. Selain itu, beberapa pemberitaan internasional sudah mulai membuka pintu donasi untuk memberikan bantuan kepada korban gempa bumi dahsyat ini terlepas dari posisi junta militer yang mungkin akan mempersulit penyelamatan. 

Pilihan editor: 10.000 Orang Diperkirakan Jadi Korban Gempa Dahsyat di Myanmar

Read Entire Article
Parenting |