TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem menyoroti sengketa pemilihan kepala daerah atau pilkada yang masih berlarut-larut. Peneliti Perludem, Haykal, menilai gugatan atas hasil pemungutan suara ulang (PSU) mencerminkan ketidakseriusan pihak penyelenggara pemilihan umum atau pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui, dari 545 daerah yang menggelar pilkada pada 2024 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan 24 daerah untuk melaksanakan PSU. Per April 2025, Komisi Pemilihan Umum atau KPU sudah menggelar pemungutan suara ulang di 19 daerah.
Namun demikian, hasil PSU di 11 daerah dari total 19 yang telah menghelat PSU itu kembali digugat. Sebanyak 11 daerah itu meliputi Kabupaten Siak, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Buru, Kabupaten Taliabu, Kabupaten Banggai, Kabupaten Talaud, Kota Banjarbaru, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Empat Lawang.
Haykal mengatakan, PSU seharusnya dijadikan ruang untuk memperbaiki proses pelaksanaan pilkada 2024. Alih-alih mengoreksi pelaksanaan yang dinilai bermasalah, hasil PSU justru masih menyisakan persoalan lainnya.
“Artinya kalau kita hitung secara matematis, dari 19 daerah itu lebih dari separuhnya itu dianggap bermasalah,” ucap Haykal dalam diskusi evaluasi perselisihan hasil pilkada 2024 pasca-pemungutan suara ulang yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu, 3 Mei 2025.
Perludem mencatat dalil yang diajukan pemohon dalam sengketa hasil PSU pilkada 2024 mencakup keterpenuhan persyaratan calon, politik uang berupa program pemberian sumbangan, pemanfaatan program pemerintah oleh petahana, pelanggaran proses pemungutan suara, politik uang secara langsung, dan juga penghalang-halangan pemilih atau persekusi.
Bila dalil-dalil yang diajukan pemohon terbukti dan gugatan tersebut dikabulkan MK, kata Haykal, maka itu berarti penyelenggara pemilu tidak belajar dan tidak berhasil mengevaluasi diri dalam pelaksanaan PSU. “PSU pada akhirnya hanya dianggap sebuah formalitas untuk menjalankan putusan MK, namun tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh,” kata Haykal.
Lebih jauh, Haykal menyoroti dalil keterpenuhan persyaratan calon. Menurut dia, ada dua permohonan gugatan yang mempersoalkan keterpenuhan syarat tersebut. “Kalau ini ternyata dinyatakan oleh MK terbukti, maka sudah bisa dipastikan akan ada PSU ulang. Ini aneh juga namanya jadi PSUU atau pemungutan suara ulang ulang. Sudah PSU, diulang lagi,” ujar Haykal.
Terlepas dari hasil putusan MK nantinya, Haykal menekankan bahwa hasil PSU di 11 daerah yang kembali digugat itu menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu tidak serius dalam melaksanakan pemungutan suara ulang. "Satu hal yang bisa kita tarik adalah bahwa masih banyak yang menganggap PSU bermasalah dalam proses pelaksanaannya sehingga menghasilkan hasil yang juga bermasalah," ucap dia.
Sementara itu, Ida Budhiati, anggota KPU periode 2012-2017, mengingatkan soal limitasi atau batasan sengketa supaya hasil pilkada 2024 tak terus menerus digugat. Ida menyebut hasil PSU memang masih memiliki ruang untuk disengketakan ke MK. Namun melalui putusan bernomor 137/PHP.BUP-XIX/2021 pada perkara di Sekadau, Ida menilai MK telah memberikan batasan isu hukum yang bisa dipersoalkan kembali.
Menurut Ida, isu hukum yang dapat disengketakan kembali ialah bila pelaksanaan PSU melanggar asas jujur dan adil.“Misalnya terjadi politik uang dalam PSU, kemudian ada pelanggaran terhadap hak konstitusional yaitu orang tidak bisa menggunakan hak pilih karena faktor kelalaian penyelenggara, atau karena faktor kesengajaan. Itu yang bisa dipersoalkan kembali,” ucap dia.
Tanpa batasan yang jelas, penyelenggaraan PSU akan berlarut-larut dan membuat pilkada 2024 tak kunjung usai. Maka dari itu, Ida pun meminta MK untuk menghadirkan kepastian hukum guna melindungi para pasangan calon. Sehingga, mereka tidak terbebani oleh kesalahan yang dilakukan oleh calon lainnya.
“Dengan konsepsi negara hukum, MK juga perlu menghadirkan kepastian hukum,” ujar Ida. “Karena keadilan substantif itu tidak juga bisa mengesampingkan aspek kepastian hukum.”