Ahli Forensik Ungkap Penyebab Kematian Jurnalis Juwita

7 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin kembali menggelar sidang perkara pembunuhan jurnalis Juwita oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) Kelasi Satu Jumran. Dalam sidang yang digelar Senin, 19 Mei 2025, dihadirkan saksi ahli forensik dari RSUD Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Mia Yulia Fitrianti.

Berdasarkan laporan Antara, dalam kesaksiannya, Mia mengungkapkan penyebab kematian korban, yang merupakan kekasih dari terdakwa tersebut. Dia menjelaskan bahwa korban meninggal akibat tekanan kuat di bagian leher, yang diduga berasal dari pitingan dengan tenaga besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Penyebab fatal korban hingga meninggal adalah adanya tekanan (diduga pitingan) dengan tenaga kuat yang menyebabkan korban meninggal dalam waktu singkat,” kata Mia kepada majelis hakim di Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Senin.

Ia menjelaskan, tekanan pada leher dilakukan secara halus namun dengan kekuatan tinggi, yang menyebabkan aliran darah ke otak terhenti dalam waktu singkat. Menurutnya, hanya dalam dua menit, tekanan semacam itu sudah cukup untuk menghentikan pernapasan dan aliran darah.

“Korban mengalami tekanan di bagian pembuluh darah. Darah yang harusnya diantar ke atas (otak) tapi berhenti akibat tekanan kuat di leher. Sehingga terdapat luka berwarna ungu di bagian leher karena pembuluh darah pecah,” ujarnya.

Mia menambahkan bahwa jika tekanan seperti itu dialami oleh seorang atlet renang, mungkin bisa bertahan lebih lama, sekitar lima menit. Namun, karena korban bukan seorang atlet, waktu dua menit sudah cukup menyebabkan kematian. Ia juga mengungkapkan bahwa tekanan tangan terdakwa sangat kuat, terbukti dari temuan resapan darah yang mencapai tulang belakang kepala korban.

Hasil autopsi lebih lanjut menunjukkan adanya dominasi tekanan darah di bagian kanan leher depan, tulang penyangga lidah sebelah kanan patah, serta kerongkongan korban juga mengalami keretakan. Mia menyebut tidak ditemukan indikasi jeratan tali di leher korban.

Sebaliknya, kata Mia, luka yang terlihat mengarah pada tekanan kuat oleh benda tumpul, diduga tekanan dari tangan pelaku. “Suatu tekanan yang halus namun dengan kekuatan besar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Mia menyebut bahwa setelah pitingan, terdakwa diduga juga melakukan cekikan dengan tangan ke bagian leher korban, sebagai upaya memastikan bahwa korban benar-benar telah meninggal.

Selain itu, dokter juga menemukan luka memar di bagian kepala, tapi tidak parah dan luka ini tidak berpengaruh besar hingga menyebabkan korban meninggal, jika melihat kondisi memar di kepala berdasarkan hasil autopsi. Tekanan bagian leher lebih dominan sebagai penyebab kematian korban.

“Atas temuan dalam autopsi inilah kami berkoordinasi dengan penyidik, kira-kira apakah ada pelaku yang dicurigai merupakan olahragawan. Dan penyidik melaksanakan kewenangan dengan bantuan hasil autopsi,” ucap Mia.

Bukti Sperma Hilang

Kepala Oditurat Militer III-15 Banjarmasin Letkol CHK Sunandi mengungkapkan bahwa bukti sperma di dalam mobil yang digunakan dalam kasus pembunuhan jurnalis Juwita hilang. “Untuk bukti sperma di mobil memang tidak ditemukan, hanya ada cairan mani sesuai apa yang disampaikan saksi ahli forensik,” kata Lektol Sunandi dalam sidang, Senin.

Ia menjelaskan bahwa hilangnya bukti tersebut disebabkan karena mobil rental yang menjadi lokasi pembunuhan dan tempat pelaku diduga melakukan hubungan badan dengan korban, langsung digunakan penyewa lain setelah kejadian pada Sabtu, 22 Maret 2025. 

Pemilik rental mobil pun tidak mengetahui bahwa kendaraan tersebut sempat digunakan untuk melakukan tindak pidana. Akibatnya, bekas aktivitas di dalam mobil otomatis hilang dan tidak tersisa untuk dianalisis.

Sementara itu, saksi ahli forensik dari RSUD Banjarmasin, Mia Yulia Fitrianti, mengungkapkan bahwa cairan mani yang ditemukan di dalam rahim korban tidak cocok dengan hasil tes DNA milik terdakwa. Proses identifikasi dilakukan dengan mengambil sampel air liur terdakwa dari bagian dalam pipi, yang kemudian dicocokkan dengan cairan mani yang ditemukan di tubuh korban.

“Tes DNA ini diajukan oleh penyidik ke laboratorium forensik. Terhadap terdakwa diambil sampel air liur dari dinding pipi dalam, lalu sampel dibawa untuk diuji dan dicocokkan dengan temukan cairan mani yang sebelumnya saya ambil dari rahim korban,” ujar Mia.

Menanggapi perbedaan antara cairan mani dan air liur sebagai sampel, Mia menegaskan bahwa hal itu tidak memengaruhi keakuratan hasil tes DNA. “Dalam dunia forensik, yang diperiksa adalah kecocokan DNA-nya. Jadi antara cairan mani dan air liur tetap bisa dibandingkan secara valid,” ujarnya.

Meskipun hasil tes DNA tersebut tidak menunjukkan kecocokan, Mia menegaskan bahwa fakta bahwa terdakwa melakukan hubungan intim dengan korban tetap tidak terbantahkan. “Saat gelar perkara, terdakwa mengakui berhubungan badan dengan korban. Terdakwa juga mengaku membuang sperma di luar saat berhubungan badan,” tutur dia.

Read Entire Article
Parenting |