TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti lambannya penanganan dugaan kekerasan seksual oleh mantan rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya sejak tahun lalu.
Wakil Ketua Komisi Paripurna Komnas Perempuan Ratna Batara Munti, menyebut penyidik diduga mengabaikan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah ada terobosan di Pasal 22 dan 23 UU TPKS terkait alat bukti. Kalau sudah ada korban lebih dari satu dan didukung keterangan ahli, semestinya sudah bisa ditindaklanjuti,” kata Ratna kepada Tempo, saat dihubungi melalui sambungan telepon Selasa, 29 April 2025.
Menurut dia, penanganan kasus masih mengacu pada KUHAP yang konvensional dan belum mengakomodasi hukum acara khusus sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Ratna menegaskan, jika minimal dua alat bukti telah terpenuhi, maka penyidik tidak punya alasan untuk menunda pelimpahan berkas ke kejaksaan. “Seharusnya ini sudah bisa disidangkan,” ujarnya.
Kasus ini dilaporkan sejak 2024 dan melibatkan lebih dari satu korban yang merupakan karyawan UP dan karyawan swasta yang pernah bekerja sama dengan pihak kampus. Hingga kini, status perkara masih di tahap penyidikan tanpa penetapan tersangka.
Ratna juga menyoroti minimnya informasi yang diterima korban. Sebab berdasarkan pernyataan kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat dan Amanda Manthovani, mereka menemukan dua surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atau SPDP untuk perkara yang sama. Namun tak ada kejelasan kepada pihak korban. “Ini pelanggaran terhadap hak korban, baik menurut UU TPKS maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban,” ujar Ratna.
Komnas Perempuan, kata dia, mempertimbangkan untuk mengirim surat permintaan klarifikasi kepada penyidik dan lembaga terkait seperti Kompolnas. Lembaga ini juga berencana memperbarui data pendampingan bersama tim kuasa hukum korban. “Kami sedang siapkan langkah-langkah advokasi untuk mendorong percepatan proses hukum,” kata Ratna.
Ratna menambahkan, bila terbukti terjadi kekerasan seksual berulang, terlapor dapat dijerat Pasal 15 UU TPKS yang mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku berkuasa. Ia menilai dunia pendidikan rentan terhadap kekerasan karena relasi kuasa yang timpang. “Ini bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan biasa, tapi sudah masuk korupsi moral,” ujarnya.
Tempo telah menghubungi Kelapa Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wira Satya Triputra soal penanganan kasus kekerasan seksual Edie Toet ini pada Senin kemarin. Namun, keduanya belum memberikan respons.
Kombes Ade Ary, pada Juni 2024, menyatakan kasus dugaan pelecehan oleh Rektor Universitas Pancasila telah naik ke penyidikan setelah gelar perkara mengungkap adanya dugaan tindak pidana. Ia menyatakan proses hukum terus berjalan. “Mohon waktu,” katanya.