Kritik Berbagai Pihak soal Penulisan Ulang Sejarah Nasional

8 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dicanangkan oleh Kementerian Kebudayaan memantik gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Kemarin, 19 Mei 2025, sejumlah sejarawan, akademisi, hingga aktivis yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI menyampaikan sikap dan kritik mereka saat rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI.

Usman Hamid

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melayangkan kritik atas kegiatan penulisan sejarah tersebut. "Penulisan sejarah itu harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan partisipasi banyak kalangan," kata dia kepada Tempo di depan Ruang Rapat Komisi X, kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 19 Mei 2025.

Menurut dia, sejarah harus digarap menyeluruh, partisipatif, dan terutama mendengar mereka yang pernah mengalami ketidakadilan masa lalu. "Karena itu usaha melakukan penulisan sejarah juga harus menjadi bagian dari cara menyelesaikan ketidakadilan di masa lalu," tutur dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia juga menyebut proyek ini sebagai upaya glorifikasi masa lalu dan pembersihan jejak kekelaman sejarah. Ia menilai proyek tersebut bisa menghilangkan tokoh atau peristiwa yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” kata Usman dalam keterangan tertulis AKSI.

Marzuki Darusman

Penolakan resmi disuarakan oleh Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang dipimpin oleh mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X pada Senin, 19 Mei 2025, Marzuki menegaskan bahwa proyek ini sarat kepentingan kekuasaan.

“Kami dari AKSI dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia,” ucap Marzuki membacakan manifesto di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada Senin, 19 Mei 2025.

Aliansi menilai proyek sejarah resmi sebagai jalan halus menuju monopoli kebenaran oleh negara. Mereka menyebut proyek ini sebagai ilusi kekuasaan, yang mengklaim seolah mendapat mandat dari bangsa untuk menegakkan narasi sejarah tunggal.

“Sejalan upaya mewujudkan visi serupa itu, lahirlah ilusi bahwa pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya,” tutur Marzuki.

Imam Aziz

Dalam lima poin kritiknya, AKSI menilai pemerintah tengah menggunakan sejarah untuk menegakkan tatanan politik tertentu. Imam Aziz, sejarawan dari Nahdlatul Ulama, menekankan bahwa proyek ini mengarah ke batas ekstrem otoritarianisme hingga totalitarianisme.

“Totaliterianisme bukanlah akumulasi otoriterisme; sebaliknya otoriterianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah  melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah,” ucapnya menggantikan Marzuki membacakan manifesto di hadapan Komisi X DPR.belaka,” kata Imam.

Sulistyowati Irianto

Wakil Ketua AKSI Sulistyowati Irianto menyebut penulisan sejarah model ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap paham kerakyatan. “Tindakan ini merupakan suatu tindak pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia, dan menghancurkan memori kolektif tentang kapasitas alamiah dan kekuatan bangsa, untuk mengatasi tantangan eksistensialnya,” ucapnya.

Menurut dia, sejarah tidak boleh dipisahkan dari suara rakyat yang juga menjadi korban kebijakan negara. Pemerintah, kata dia, bukanlah satu-satunya penafsir tunggal sejarah atas bangsa, bahwa suara rakyat tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya. 

Asvi Warman Adam

Sejarawan Asvi Warman Adam mengingatkan bahwa istilah “sejarah resmi” bukan hal yang tepat. Ia mencontohkan sejarah resmi versi pemerintah Orde Baru, seperti buku Gerakan 30 September dan Risalah Sidang BPUPKI. Menurut dia, buku-buku tersebut lebih bertujuan membangun citra rezim ketimbang membuka ruang diskusi sejarah. “Ini adalah sejarah resmi pandangan pemerintah negara terhadap suatu peristiwa,” ucap Asvi.

Asvi juga menyoroti absennya isu pelanggaran HAM berat dalam draf naskah revisi penulisan ulang sejarah tersebut. Menurut dia, hal itu bisa menciptakan ilusi sejarah yang bersih, tanpa luka, dan hanya bertujuan melegitimasi kekuasaan hari ini. Salah satu yang ia soroti adalah penghilangan paksa aktivis 1998, yang diduga kuat melibatkan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Asvi mendesak agar negara menunjukkan sikap rendah hati dan tidak menghindari bagian sejarah yang kelam. “Kalau tidak ingin dikatakan bahwa sejarah itu hanya legitimasi rezim, seharusnya buktikan hal itu tidak demikian. Misalnya, sampaikan fakta sejarah yang  telah diakui oleh mantan presiden Joko Widodo tentang 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru,” katanya.

Jane Rosalina Rumpia

Kecurigaan akan muatan politik dalam proyek revisi sejarah juga datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Jane Rosalina Rumpia menilai penulisan ulang sejarah semestinya menjadi momen bagi negara untuk menebus janji ke korban, bukan menutupi dosa masa lalu.

Jane menyebut naskah yang beredar justru memperlihatkan framing korban HAM sebagai gangguan keamanan dan menghapus jejak kejahatan Orde Baru. Ada pula satu bab khusus yang memuji-muji pemerintahan Jokowi.

Menurut dia, sejarah yang adil semestinya mencantumkan kasus-kasus seperti Tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, petrus, kekerasan di Aceh, Papua, Timor Leste, hingga Tragedi Mei 1998 dan penghilangan paksa menjelang jatuhnya Orde Baru. “Itu bagian dari sejarah kelam bangsa yang belum sepenuhnya diungkap dan dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Pande K. Trimayuni

Aktivis 1998, Pande K. Trimayuni, turut mempertanyakan proses penulisan sejarah yang berlangsung senyap. Menurutnya, publik seharusnya dilibatkan karena tafsir sejarah sangat ditentukan oleh siapa yang menuliskannya. "Tafsir biasanya akan bergantung pada siapa yang melakukan penulisan," ujarnya. Pande juga menyayangkan proses kerja tim penulis yang dilakukan tertutup dan cepat. Ia mendengar beberapa rapat bahkan digelar di luar kota tanpa pelibatan publik. 

Alasan Pemerintah Menulis Ulang Sejarah Nasional

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan penyusunan ulang sejarah ini adalah bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Proyek ini akan menghasilkan sepuluh jilid buku sejarah Indonesia yang ditulis kolektif oleh para sejarawan dari berbagai universitas.

Dalam draf kerangka konsepnya, pemerintah menyebut tujuan utama proyek ini adalah untuk membentuk “sejarah resmi” dengan orientasi kebangsaan. Buku tersebut disusun dengan dukungan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan dana dari negara.

Dinda Shabrina, Ihsan Reliubun, dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 
Read Entire Article
Parenting |