Menengok PLTS di Loko Kalada NTT yang Layu Sebelum Berkembang

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Tambaloka - Penantian panjang warga Desa Loko Kalada akan kehadiran listrik baru bisa terwujud dua tahun lalu. Kala itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 30 kWp di salah satu desa terpencil di Kabupaten Sumba Barat Daya itu.

PLTS di Loko Kalada merupakan satu dari 42 pembangkit yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Pulau Sumba. Pembangunannya menelan anggaran Rp 3,6 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, berdasarkan pengakuan Paulina Kabili, kehadiran PLTS tidak sepenuhnya membuat warga leluasa menggunakan listrik. Perempuan 37 tahun ini bercerita, PLTS hanya berfungsi secara normal setahun pertama sejak diresmikan pada 2023.

Setelah itu, kata dia, pembangkit acap kali bermasalah. “Setahun terakhir ini tidak selalu bisa digunakan, pernah sebulan tidak bisa hidup,” kata Paulina, Kamis, 8 Mei 2025.

Bangunan PLTS tersebut berada persis di pekarangan belakang rumah Paulina. Pembangkit tersebut berlokasi di lahan dengan luas sekitar setengah lapangan tenis. Jika dilihat dari dekat, kondisi panel surya di PLTS tersebut tampak masih baru. Begitu pula dengan ruangan instalasi dan baterai yang berfungsi untuk menyimpan listrik.

Tempo melihat langsung ke dalam ruang operator instalasi PLTS tersebut. Namun layar monitor yang seharusnya menampilkan informasi arus listrik yang mengalir ke rumah warga, tidak menyala. Selain menampilkan indikator arus listrik, kata Paulina, biasanya monitor itu juga memberikan informasi mengenai status pengisian baterai di instalasi PLTS. 

Sistem pengatur arus listrik di PLTS Desa Loko Kalada itu sudah tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya warga hanya bisa mengandalkan listrik dari baterai saja. Padahal saat siang hari idealnya inverter yang mengkonversi sinar matahari menjadi arus listrik AC bisa langsung disalurkan ke transmisi yang terhubung langsung ke rumah-rumah warga.

Paulina berujar, saat baru beroperasi, warga masih bisa menggunakan listrik langsung dari inverter dari pagi hingga siang hari. Ketika matahari mulai meredup, barulah cadangan listrik yang tersimpan dalam baterai dinyalakan. Namun, kata Paulina, sistem seperti itu tidak berfungsi lagi dalam setahun terakhir.

“Kalau PLTS diaktifkan untuk mengalirkan listrik pada siang hari, malam tidak bisa dipakai sudah. Jadi sekarang menyala saat malam saja. Itu pun hanya untuk penerangan,” ujar Paulina.

Selain masalah pada sistem inverter, Paulina mengatakan baterai di PLTS itu juga tidak mampu lagi menyimpan listrik hingga 100 persen. Dia mengatakan saat ini pengisian baterai hanya bisa hingga 49 persen. “Bahkan tidak pernah sampai 50 persen,” katanya.

Selain kapasitas baterai yang tidak memadai, ketiadaan teknisi yang rutin mengontrol PLTS membuat pemanfaatan energi surya di Loko Kalada menjadi terbatas. Padahal desa ini berada di punggung bukit yang cukup terbuka dengan paparan sinar matahari berlimpah.

“Kami tidak tahu bagaimana cara mekaniknya. Yang kami lihat hanya di layar. Kalau begini-begini, ya, berarti ini tidak mampu lagi,” kata Paulina.

Kepala Desa Loko Kalada Fransiskus Asisi Ngongobili mengatakan sebelumnya memang pernah ada operator tetap yang rutin mengontrol PLTS di desa itu. Operator tersebut juga telah mendapatkan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten.

Namun, kata Fransiskus, operator yang dilatih bukan berasal dari Loko Kalada. Akibatnya, tidak ada yang bisa menangani dengan sigap jika terjadi kendala. Masalah lainnya adalah soal biaya perawatan.

Sebelumnya, warga sempat urunan untuk membiayai operasional operator. Namun hal itu tidak berlangsung secara berkelanjutan. “Mereka bilang matahari kenapa mesti kita bayar. Tapi saya bilang, alatnya ini bisa rusak kalau tidak dirawat,” kata Fransiskus. 

Kini, dia melanjutkan, seorang guru yang juga warga setempat bernama Milkianus, menjadi operator tidak resmi yang mengawasi operasional PLTS. Fransiskus mengatakan warga pengguna PLTS saat ini tidak dikenakan biaya apapun alias gratis.

Namun inisiatif untuk membayar iuran sempat digagas kembali demi menjamin keberlanjutan dan perawatan fasilitas. Sayangnya, wacana tersebut tidak mendapat sambutan. 

Saat ini sebanyak 47 kepala keluarga menjadi penerima manfaat PLTS tersebut. Dengan rata-rata anggota keluarga 5–9 orang, sekitar 300-an jiwa bisa menggunakan listrik walaupun tidak maksimal.

Sebelum ada PLTS, warga harus membawa ponsel mereka ke desa tetangga untuk mengisi daya. Kini, mereka bisa mengecas di rumah meski harus berbagi beban listrik dengan hati-hati. Sebagian warga hanya menggunakan listrik untuk penerangan dan mengisi daya ponsel.

Namun ada pula yang mencoba menggunakan kulkas, TV, atau peralatan lain, yang justru membebani sistem. “Ketidakseimbangan penggunaan ini membuat sistem sering mati dan berdampak pada seluruh pengguna,” ujar Fransiskus.

Fransiskus mengatakan warga berharap ada perhatian lanjutan dari pemerintah agar PLTS dapat berfungsi maksimal. Selain soal teknisi dan perawatan, mereka juga ingin sistem iuran bisa dijalankan secara kolektif agar keberlangsungan PLTS tetap terjaga.

Rita Kefi, yang ikut menemani Tempo mengunjungi Desa Loko Kalada, mengatakan, persoalan itu terjadi karena pemerintah tidak mendampingi warga dalam mengelola PLTS. Setelah instalasi dan jaringan kabel dibangun, warga dibiarkan sendirian tanpa pendampingan yang memadai. 

Rita bekerja untuk program bertajuk Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia atau Mentari. Program ini terwujud berkat kerja sama pemerintah Inggris dan Indonesia. Salah satu fokusnya yaitu pengembangan energi surya di Pulau Sumba. “Harusnya tidak langsung dibangun, kemudian ditinggalkan begitu saja,” ujarnya merujuk kepada buruknya pengelolaan PLTS di Loko Kalada.

Saat ini Rita sedang mendampingi warga Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, dalam pengelolaan PLTS. Berbeda dengan di Loko Kalada, PLTS di Mata Redi dibangun menggunakan dana hibah dari pemerintah Inggris yang disalurkan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Dalam hal ini program Mentari bertindak sebagai pendamping warga penerima manfaat.

Rita mengatakan PLTS di Mata Redi dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Warga wajib membayar Rp 50 ribu tiap bulannya untuk biaya operasional operator. Sebelum pembangunan PLTS di sana, butuh waktu satu tahun untuk mengedukasi warga tentang skema pembiayaan PLTS hingga membentuk BUMDes. 

“Idealnya harus ada manajemen pengelolaan yang tepat. Warga juga harus ikut berpartisipasi sehingga punya rasa memiliki. Tapi pemerintah tidak melihat itu saat membangun PLTS di Loko Kalada ini,” kata Rita. “Mereka bangun, lalu tinggalkan tanpa pendampingan.”

Rita mengatakan program Mentari tidak bisa mengintervensi PLTS di Loko Kalada karena tidak terlibat sejak awal. Meski demikian, dia mengatakan sudah memfasilitasi pelatihan kepada operator PLTS. Namun, dia mengakui untuk pendampingan warga serta membentuk BUMDes seperti di Mata Redi, sulit untuk dilakukan saat ini. “Kami tidak bisa intervensi di tengah jalan," ujarnya.

Read Entire Article
Parenting |