TEMPO.CO, Jakarta - Sejak pertama kali muncul pada awal 1980-an, Human Immunodeficiency Virus atau HIV telah menjadi salah satu virus menakutkan di dunia. Lebih dari 40 juta orang meninggal akibat infeksi virus ini. Meskipun pengobatan dan strategi pencegahan telah berkembang pesat, vaksin untuk mencegah infeksi HIV belum berhasil ditemukan.
Dikutip dari Public Health, Aidsmap, dan HIV Gov, berikut beberapa alasan sampai saat ini belum ditemukan vaksin HIV:
1. Virus yang Terus Berubah
Salah satu penyebab utama belum ditemukannya vaksin HIV adalah karakteristik biologis virus yang sangat kompleks. HIV memiliki kemampuan tinggi untuk bermutasi dan beradaptasi, menjadikannya sulit dikenali oleh sistem imun manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protein amplop yang membungkus virus ini terus mengalami perubahan, sehingga antibodi yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap vaksin sering kali tidak lagi efektif saat menghadapi versi virus yang bermutasi.
Selain itu, HIV juga memiliki kemampuan untuk menyisipkan materi genetiknya ke dalam DNA sel inang. Dengan integrasi ini, virus dapat “bersembunyi” dalam tubuh dan menghindari pengawasan sistem kekebalan. Akibatnya, respons imun yang biasanya efektif terhadap virus lain tidak mampu mengatasi HIV secara tuntas.
3. Terbatasnya Teknologi Vaksin yang Tersedia
Berbagai pendekatan vaksin tradisional, termasuk penggunaan virus hidup yang dilemahkan seperti pada vaksin campak atau rubella, tidak dapat diterapkan untuk HIV karena risikonya terlalu tinggi. Ada kekhawatiran bahwa virus HIV yang dilemahkan tetap bisa menyatu ke dalam DNA manusia dan menyebabkan penyakit.
Teknologi baru seperti vaksin mRNA juga menghadapi kendala saat digunakan untuk HIV. Dalam kasus vaksin Covid-19, hanya satu jenis protein virus yang dimasukkan ke dalam vaksin melalui mRNA. Sedangkan pada HIV, dibutuhkan lebih banyak target protein agar vaksin dapat mencakup berbagai strain virus.
Namun, kapasitas mRNA dalam satu dosis vaksin sangat terbatas, sehingga sulit untuk menyertakan seluruh komponen penting dari HIV dalam satu formula vaksin yang aman dan efektif.
4. Hasil Uji Klinis yang Belum Memuaskan
Sejak awal epidemi, lebih dari 250 uji klinis vaksin HIV telah dilakukan di berbagai negara. Sebagian besar uji ini masih berada pada tahap awal dan hanya bertujuan untuk menilai keamanan serta kemampuan vaksin dalam merangsang respons imun. Sangat sedikit uji yang telah mencapai tahap evaluasi efektivitas terhadap infeksi HIV secara nyata.
Dari uji-uji lanjutan yang telah dilakukan, hanya satu vaksin yang menunjukkan efektivitas sebesar 31 persen dalam mencegah infeksi selama 42 bulan. Efektivitas ini masih dianggap terlalu rendah, apalagi karena keberhasilannya terbatas pada satu jenis HIV (clade B), yang tidak mewakili keanekaragaman virus di wilayah lain. Dengan demikian, vaksin tersebut belum dapat dijadikan solusi global.
5. Antibodi Monoklonal
Selain pengembangan vaksin konvensional, para peneliti kini juga mengeksplorasi penggunaan antibodi monoklonal sebagai alternatif pencegahan. Pendekatan ini menggunakan antibodi sintetis yang meniru antibodi kuat yang ditemukan pada sebagian kecil penderita HIV dengan respons imun luar biasa. Antibodi ini mampu mengenali berbagai jenis HIV dan menunjukkan hasil awal yang menjanjikan dalam uji klinis.
Namun,efektivitas antibodi ini bersifat sementara. Perlindungan hanya berlangsung beberapa bulan, sehingga pemberian harus diulang secara berkala. Strategi jangka panjang tetap diarahkan pada pembuatan vaksin yang mampu merangsang tubuh memproduksi antibodi tersebut secara mandiri. Hingga kini formula vaksin yang dapat melakukan hal tersebut secara efektif belum ditemukan.