Reformasi 1998: Kilas Balik Ribuan Mahasiswa Geruduk dan Duduki Gedung DPR

4 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 27 tahun lalu, buntut krisis moneter dan pemerintahan yang dianggap otoriter, mahasiswa dan aktivis melakukan aksi berjilid-jilid. Puncaknya adalah pada 18 Mei 1998 di mana mahasiswa berhasil pendudukan gedung DPR/MPR RI. Momen ini menjadi peristiwa bersejarah lantaran menandai kelahiran era reformasi.

Presiden Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei tahun tersebut. Mundurnya Soeharto itu bukan inisiatif pribadi. Presiden Kedua RI itu baru sadar diri setelah muncul sejumlah aksi, termasuk Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa, kemudian pecahnya Kerusuhan Mei 1998, hingga ‘pengkhianatan’ oleh orang-orang dekatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kilas Balik Pendudukan Gedung DPR/MPR RI Oleh Mahasiswa pada Mei 1998

Dikutip dari Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998 oleh Lilik Eka Aprilia dkk, tuntutan akan reformasi terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya krisis ekonomi. Apalagi semakin jelas bahwa rezim tidak mampu mereformasikan diri. Dimulai oleh para mahasiswa, rakyat berunjuk rasa untuk menyalurkan aspirasi.

Aksi-aksi mahasiswa itu telah dimulai sejak permulaan 1998, seperti dikutip dari Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) oleh Muhammad Hisyam. Salah satunya oleh mahasiswa Universitas Indonesia atau UI pada Januari 1998. Mereka mengeluarkan pernyataan permintaan agar Soeharto mundur secara damai untuk mengakhiri pemerintahan Orde Baru.

Mereka bahkan menutup papan jargon milik pemerintah “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru” yang terpampang di pojok kampus UI di Jalan Salemba. Kebanggaan mahasiswa UI terhadap status kampusnya telah berubah menjadi rasa malu dan kecil hati. Malu, karena apa yang dibanggakan itu telah mempermalukan martabat kampus, tempat dimana kebenaran di junjung tinggi.

“Ini merupakan pembatalan secara simbolis, dukungan kampus ini terhadap pemerintah yang dulu di awal kebangkitannya di tahun 1967 ikut mereka bela dan lahirkan,” menurut Hisyam, seperti dikutip Santi dkk dalam publikasi Perjuangan Mahasiswa Jambi Menuntut Reformasi 1998 (2020).

Setelah sikap mahasiswa, menyusul pula pernyataan sikap yang sama dari Ikatan Alumni UI (ILUNI) mengatasnamakan sivitas akademika UI. Aksi besar-besaran digelar di Kampus baru UI di Depok, menuntut penurunan harga, penghapusan monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka juga menuntut agar kedaulatan rakyat ditegakkan dan suksesi kepemimpinan nasional dimulai.

Aksi itu arahnya pelan-pelan bergeser, dari keprihatinan terhadap krisis ekonomi ke reformasi total dan penolakan terang-terangan atas rezim Orde Baru. Memasuki bulan Mei, aksi-aksi mahasiswa semakin berani. Keberanian mereka dipicu oleh dua isu, yakni reformasi setelah 2003 atau setelah habis masa jabatan Soeharto dan kenaikan bahan bakar minyak atau BBM.

Aksi mahasiswa di awal Mei digelar di berbagai kota besar dan melibatkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Puncak dari aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa adalah tewasnya empat mahasiswa Trisakti yaitu, Elang Mulia, Heri Hartanto, Hendriawan, dan Afidin Alifidin Royan. Keempatnya tewas ditembak aparat saat melakukan aksi damai di bilangan Grogol pada 12 Mei bersama sekitar 6000-an pengunjuk rasa.

Menurut Hiro Tugiman dalam Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto (1999), kematian empat mahasiswa Trisakti itu menjadi awal pecahnya kerusuhan-kerusuhan yang semakin menjadi di kota-kota besar. Kerusuhan itu disebut sebagai bentuk solidaritas mahasiswa seluruh Indonesia karena gugurnya pahlawan reformasi akibat kebrutalan aparat keamanan yang seharusnya menjaga ketertiban.

Pagi 13 Mei, masyarakat menyaksikan aksi berkabung mahasiswa di kampus Universitas Trisakti. Arus lalu lintas di sekitar kampus Trisakti tersendat, mahasiswa berpidato, meneriakkan yel-yel menuntut reformasi. Massa di luar kampus juga melakukan unjuk rasa dengan memberhentikan kendaraan-kendaraan yang lewat, supir kendaraan dipaksa turun kemudian kendaraannya dibakar, kerusuhan pun dimulai di mana-mana.

Menurut Hisyam, pada keesokan harinya, 14 Mei, kerusuhan besar-besaran menjalar di seluruh bagian kota metropolitan Jakarta. Massa mengamuk, merusak dan membakar bangunan-bangunan tempat niaga, kantor-kantor, mall, supermarket, bank dan kendaraan bermotor. Orang-orang menjarah barang-barang dari toko-toko yang kebanyakan milik orang Cina.

Sementara itu, menurut publikasi Lilik, saat kerusuhan besar terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi kelompok G15 ke-8, sebuah forum kerjasama antar negara-negara berkembang. Sehingga saat mendengar keadaan Tanah Air yang tidak menentu, Soeharto mempersingkat kunjungannya.

Awalnya Soeharto dijadwalkan pulang pada 16 Mei 1998. Ia kemudian memutuskan untuk kembali pada 15 Mei. Sepulang dari Kairo, Soeharto mengadakan pertemuan dengan pembantu-pembantunya terkait kondisi yang terjadi. Pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga BBM pada keesokan harinya. Soeharto juga berjanji melakukan reformasi di segala bidang dan segera me-reshuflle Kabinet Pembangunan VII.

Namun, menurut Hisyam, sekembalinya Soeharto tidak serta-merta meredakan kerusuhan yang terlanjur meluas. Antara 18 hingga 20 Mei, terjadi sejumlah perkembangan yang amat menentukan kedudukan Soeharto. Di satu pihak, para penentang Soeharto melakukan tekanan-tekanan melalui demontrasi-demontrasi di gedung parlemen, dan di lain pihak para pendukung Soeharto mulai berpihak pada demonstran.

“Orang-orang terdekat Soeharto dan pembantu-pembantunya yang selama ini sangat setia dan getol membelanya satu demi satu berbalik arah meninggalkannya,” tulis Hisyam.

Seperti dikutip dari Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto (1999), puncaknya pada 18 Mei 1998, Amien Rais datang ke gedung DPR/MPR RI sebagai Ketua Muhammadiyah untuk bertemu dengan Komisi II DPR/MPR RI. Datang pula mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia serta Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) se-Jabodetabek.

Ada juga kelompok yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Muslim Indonesia untuk Reformasi, lembaga gabungan beberapa organisasi massa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pemuda Islam Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, dan Pemuda Anshor. Mereka datang untuk menuntut Soeharto lengser hingga mencabut dwifungsi ABRI.

Proses pendudukan gedung DPR/MPR RI tersebut dimulai dengan komitmen dari kontingen para ketua lembaga formal kemahasiswaan Jakarta yang tergabung di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) untuk bermalam di lokasi unjuk rasa hingga pimpinan dewan memastikan pengunduran diri Soeharto.

Terdiri dari kurang lebih 50 orang ketua lembaga kemahasiswaan, kontingen tersebut menunjuk Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta Henri Basel sebagai koordinator aksi dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiwa UI Heru Cokro sebagai koordinator lapangan. Kelompok pertama yang berhasil masuk ke gedung DPR/MPR RI dari FKSMJ tersebut sekitar pukul 11.30.

Keberhasilan perwakilan FKSMJ tersebut membuat kelompok mahasiswa lainnya ikut bernegosiasi supaya diperkenankan masuk ke dalam kompleks parlemen. Hasilnya, sejumlah mahasiswa akhirnya turut diperbolehkan masuk pada pukul 13.00 . Ketika itu, dalam audiensi, FKSMJ menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR guna menakzul Soeharto.

Ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko akhirnya menyerukan pengunduran diri Soeharto. Pernyataan ini disambut positif oleh para anggota kontingen. Namun, kendati komponen aksi lainnya pulang, kontingen memutuskan untuk bermalam sampai Soeharto benar-benar mundur dari kepresidenan, sekaligus mempersiapkan kedatangan massa mahasiswa dari kampus masing-masing keesokan harinya.

Namun, pernyataan Harmoko dibantah oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan atau Menhankam sekaligus Panglima ABRI saat itu, Wiranto. Pernyataan Harmoko yang disebut tidak mewakili konstitusional sempat membuat kontingen pengunjuk rasa yang bermalam khawatir. Kepanikan menggantung di udara, apalagi setelah berdesus gedung DPR/MPR RI akan diserbu tentara.

Keesokan harinya, pada 19 Mei diadakan rapat pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi di gedung DPR/MPR RI untuk membahas pernyataan pimpinan DPR terkait Soeharto pengunduran diri secara terhormat dan konstitusional. Rapat tersebut berlangsung selama lima jam dan disepakati bahwa Soeharto harus mengundurkan diri secepatnya.

Pada 20 Mei 1998, Soeharto mendapat surat dari Pimpinan DPR yang berisi kesepakatan Pimpinan DPR dengan Pimpinan Demonstran yang menyatakan agar Soeharto mengundurkan diri selambat-lambatnya pada Jumat 22 Mei. Soeha juga diultimatum jika sampai pada hari yang ditentukan tidak mengundurkan diri, maka Pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan Sidang Istimewa MPR pada 25 Mei 1998.

Sebelumnya Soeharto juga mendapatkan surat dari 14 menterinya yang menyatakan penolakan perihal pembentukan kabinet baru yang diusulkan Soeharto dan meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya. Setelah mendapat surat dari 14 menterinya dan dari Pimpinan DPR, Soeharto sangat terpukul dan merasa ditinggalkan oleh orang-orangnya.

Setelah membaca surat itu, Soeharto memberitahu Sa’adilah Mursyid tentang ketetapan hatinya untuk berhenti pada keesokan harinya sebagai Presiden secara konstitusional. Pada saat bersamaan Wiranto juga datang ke kediaman Soeharto di Cendana. Seusai pertemuan dengan Wiranto, Soeharto lalu menyusun naskah pengunduran dirinya, dibantu Sa’adilah, Yusril Ihza Mahendra dan Mayjen Jasril Jakub.

Menurut Hisyam, kabar keputusan Soeharto mengundurkan diri pun bocor sampai ke para demonstran di gedung DPR/MPR. Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, Soeharto akhirnya membacakan surat pengunduran dirinya yang kemudian dilanjutkan dengan pelantikan dan pengambilan sumpah B.J Habibie untuk menjadi presiden menggantikan Soeharto sebagai presiden RI.

Read Entire Article
Parenting |