Sederet Usulan untuk Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada

8 hours ago 3

WAKIL Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan pemerintah sudah mulai menyusun draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau revisi UU Pemilu, yang disebut akan menjadi paket UU Politik.

“Kementerian Dalam Negeri hari ini sedang menyusun draf, dan kita membuka ruang publik yang sangat besar,” kata Bima dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat di Jakarta pada Senin, 19 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.

Mantan Wali Kota Bogor itu menuturkan aspirasi publik yang besar dalam penyusunan draf RUU Pemilu akan menghasilkan undang-undang yang makin berkualitas. Dia mengatakan penyusunan RUU tersebut juga tidak boleh mengandalkan kepentingan politik saja, tetapi juga harus menyerap aspirasi dari berbagai peneliti atau akademisi. “Semua sudah ada perdebatan di belakang yang kita harus lanjutkan ke depan,” ujarnya.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menjelaskan RUU Pemilu adalah inisiatif dari DPR, tetapi pemerintah juga memiliki perspektif tersendiri untuk RUU itu.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kata dia, juga sudah memiliki kajian tersendiri mengenai RUU tersebut. Selain itu, Kemendagri perlu berkoordinasi lintas kementerian, mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, hingga Kementerian Hukum. “Sekarang kami berkoordinasi untuk mematangkan pandangan pemerintah seperti apa,” katanya.

RUU Pemilu masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025, bersama dengan RUU Pilkada. Sejumlah kalangan memberikan usulan untuk pembahasan RUU tersebut.

Batas Maksimal Koalisi Harus Diatur untuk Mencegah Capres Tunggal

Dalam diskusi tersebut, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan revisi UU Pemilu harus mengatur batas maksimal koalisi untuk pencalonan guna mencegah potensi timbulnya calon presiden (capres) tunggal.

Burhanuddin mengatakan potensi adanya capres tunggal memungkinkan setelah melihat tren data pencalonan pada pilkada maupun pilpres yang dia analisis. Banyaknya calon tunggal pada pilkada juga berpotensi menimbulkan norma baru.

“Sudah saatnya ada batas maksimum koalisi sehingga tidak terjadi kartel. Kartel adalah partai memborong sehingga pemilih hanya dipaksa memilih dari calon yang terbatas,” kata Burhanudin.

Burhanuddin menjelaskan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan pada pilkada secara signifikan tidak mempengaruhi jumlah calon. Bahkan, pihaknya mencatat tren jumlah kandidat justru menurun. “Kita punya data per pilkada itu rata-rata jumlahnya enam pasang (calon), tetapi terakhir tinggal dua koma sekian pasang,” ujarnya.

Menurut dia, partai politik seharusnya mencalonkan kadernya sendiri untuk kontestasi politik. Pada saat yang bersamaan, masyarakat diminta memilih yang tersedia sesuai preferensinya. “Sayangnya, sebagai penyuplai calon pejabat publik, partai politik enggan untuk mencalonkan kadernya, mengacu pada pengalaman kemarin,” katanya.

Dengan begitu, kata dia, meskipun MK juga sudah memutuskan meniadakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden, bukan tidak mungkin calon yang tersedia pun akan tetap terbatas. “Kemarin ada berapa banyak calon tunggal (pilkada), meskipun MK sudah menurunkan barrier to entry (syarat pencalonan),” tuturnya.

Dia berpendapat hal itu agar menjadi pembahasan di Komisi II DPR, karena bukan tidak mungkin capres yang akan muncul hanya satu kandidat berdasarkan fenomena yang muncul pada 2024.

Ketua KPU Usul Anggaran Pilkada Bersumber dari APBN

Adapun Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar nantinya anggaran penyelenggaraan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut dia, usulan tersebut berdasarkan catatan evaluasi penyelenggaraan pilkada dari jajaran KPU daerah.

Sebab, ada daerah yang memiliki anggaran besar dan di sisi lain ada daerah yang anggarannya kecil. “Salah satu pembeda antara anggaran pemilu dan pilkada, anggaran pemilu ini di APBN, pilkada di pemerintah daerah, nah ini jadi catatan kita,” kata Afifuddin.

Dia menyebutkan terkadang ada daerah yang memiliki kemudahan memiliki anggaran yang banyak karena KPU di daerah tersebut berhubungan baik dengan kepala daerah yang mencalonkan kembali dalam pilkada. Sebaliknya, ada juga KPU yang kerepotan dalam menyiapkan anggaran.

“Ini menjadi evaluasi kita dan rekomendasi banyak pihak, bagaimana kalau pilkada anggarannya di APBN, sehingga satuan nilainya sama,” kata dia.

Dia mencontohkan, pada 2024, ada jajaran KPU di daerah yang perlu melobi pemerintah daerah mengenai kucuran anggaran pilkada. Di saat bersamaan, jajarannya itu juga sedang menyiapkan pelaksanaan pemilu pada Februari 2024. 

Dengan begitu, kata dia, fokus penyelenggara pemilu akan terpecah. “Kalau anggarannya dari APBN, paling tidak nggak mikir lagi karena sudah diselesaikan,” ucapnya.

Meski demikian, dia mengatakan usulan tersebut datang dari pandangannya sebagai penyelenggara pemilu. Menurut dia, perubahan aturan atau revisi paket UU Pemilu juga perlu mendengar dari berbagai aspek, termasuk peserta hingga pemilih.

“Pada intinya, pemilu ini praktik lapangannya kadang-kadang lebih maju dari apa yang kita atur, maka penting kita dengar perspektif peserta,” katanya.

Perludem Sebut Revisi UU Pemilu Bisa Cegah Pemilu Otoriter

Sementara itu, pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan revisi Pemilu bisa mencegah ‘pemilu otoriter’. Alasannya, organisasi peneliti demokrasi internasional V-Dem Institute mencatat, pada 2025, Indonesia mengalami penurunan peringkat dari negara ‘electoral democracy’ menjadi ‘electoral autocracy’ (pemilu otoriter), berdasarkan penelitian dari ajang politik di Indonesia pada 2024.

“Catatan terbesarnya adalah (Indonesia) ada pemilu, tapi prinsip pemilu yang bebas dan adil tidak sepenuhnya diaplikasikan,” kata Titi.

Awalnya, dia memaparkan V-Dem Institute menilai Indonesia memiliki pemilu eksekutif multipartai yang berlangsung secara bebas dan adil, dengan tingkat yang memadai dalam hal hak pilih, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat.

Namun pada 2024, kata dia, prasyarat-prasyarat mendasar dalam pemilu, seperti kebebasan berekspresi dan berserikat, serta pemilu yang bebas dan adil, belum terpenuhi secara memadai.

Dia mengatakan UU Pemilu mendesak direvisi karena itu merupakan undang-undang yang paling banyak diuji ke MK, yakni sebanyak 159 kali. Sedangkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sudah 82 kali diuji ke MK.

Dengan banyaknya pengujian di MK, menurut dia, kedua undang-undang tersebut sudah banyak yang direkonstruksi pemaknaannya oleh MK, baik pemaknaannya yang dibatalkan atau diperintahkan untuk diatur ulang.

“Jadi bisa dikatakan Undang-Undang Pemilu kita ini sudah compang-camping di sana-sini, sudah tambal sulam sana-sini, termasuk juga Undang-Undang Pilkada,” ujarnya.

Dia mengatakan pembahasan revisi UU Pemilu tidak boleh ditunda lagi. Menurut dia, keterlambatan pembahasan selain mengurangi kualitas proses dan substansi, juga rentan terhadap yudisialisasi politik. Proses revisi yang tergesa-gesa karena mendekati tahun politik, kata dia, pasti akan mempengaruhi partisipasi masyarakat dan kedalaman pembahasan setiap poin perubahan atau perbaikan pengaturan.

“Kalau pengadilan dan hakim terlalu dilibatkan, dia juga membuka ruang politisasi pengadilan. Karena kekuasaan akan menggunakan pengadilan untuk menjalankan agendanya sendiri, kita sudah punya pengalaman tanpa harus dibahas,” kata Titi.

Novali Panji Nugroho dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: RUU Perampasan Aset dan Konsep Pemulihan Aset Tanpa Putusan Pidana

Read Entire Article
Parenting |