Tenun Ende Dinilai Perlu Indikasi Geografis untuk Tingkatkan Nilai Ekonomis

4 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas penenun dari Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, tengah mengajukan permohonan perlindungan indikasi geografis untuk produk wastra dari daerah tersebut. Perlindungan ini dinilai penting untuk meningkatkan reputasi dan kualitas tenun, sekaligus menambah nilai ekonominya.

Indikasi geografis merupakan tanda yang menunjukkan daerah asal suatu produk dengan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu. Tanda indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada produk. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pegiat wastra Nusantara, Sere Aba, mengatakan bahwa tenun Ende perlu mendapat sertifikasi indikasi geografis agar dapat memberi dampak langsung kepada para penenun. Selama ini, kata dia, nilai ekonomis yang didapat penenun tak sebanding dengan yang didapat orang yang memasarkan. Padahal, proses mencipta dan mengkurasi motif-motif tenun itu perlu apresiasi. 

"Sebagai produsen utama, harusnya dia (perajin) mendapat lebih atau minimal sama dengan marketingnya," kata Sere kepada Tempo, usai diskusi publik bertajuk "Indikasi Geografis, Wastra & Masyarakat Adat; Sinergi Pelestarian & Pemberdayaan" di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Rabu, 14 Mei 2024. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian Gawi Sia Festival yang akan digelar bulan depan di Jakarta.

Peran Ekonomi Penenun Ende 

Para penenun di Ende, kata Sere, umumnya perempuan. Mereka memiliki peran penting dalam perekonomian keluarga. Terkadang, perempuan memiliki peran ekonomi lebih besar daripada laki-laki yang umumnya berladang. 

"Kalau ada indikasi geografis, pasti nilai ekonominya bertambah dan itu akan membuat mereka semakin semangat bekerja untuk menambah nilai ekonomi mereka," Sere menambahkan. 

Tenun ikat Ende merupakan salah satu wastra yang populer dari Flores selain tenun Sikka, Maumere, Ngada, Lio, dan lain-lain. Beda dengan produk tenun lain dari Flores, tenun Ende memiliki ciri motif yang lebih kecil dan warna cokelat gelap yang didapat dari alam. 

Sere mengatakan bahwa komunitas penenun di Ende sudah mengajukan perlindungan indikasi geografis sejak tiga tahun lalu. Namun, prosesnya berjalan lambat karena ada misinformasi. 

Indikasi Geografis Meningkatkan Harga

Komarudin Kudiya, Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia yang juga pemilik Rumah Batik Komar, mengatakan bahwa tenun Ende sangat potensial mendapatkan indikasi geografis. "Saya melihat itu berbeda dengan (tenun) yang lain, dari penggunaan warna alami, benang, dan motif-motifnya. Apalagi di balik motif itu ada makna simbolik, filosofis, yang menyertai," kata dia. 

Indikasi geografis terbukti meningkatkan produk dalam berbagai sisi. Tapi yang paling terasa adalah kenaikan harga produk yang berdampak langsung kepada produsen. Dia mencontohkan, garam Amed dari Bali, harganya melambung dari Rp 8.000 menjadi Rp 40.000. "Konsumen mau beli karena tahu kualitasnya dan tidak ada di tempat lain," kata Komar. 

Indikasi geografis di Indonesia diperkenalkan sejak 2017. Perlindungan ini dapat diajukan oleh komunitas kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dengan mencantumkan nama indikasi geografis, uraian karakteristik dan kualitas, uraian lingkungan geografis, uraian mengenai sejarah dan tradisi, uraian proses produksi, uraian mengenai metode untuk menguji kualitas produk, dan label yang akan digunakan. 

Read Entire Article
Parenting |