Uji Formil UU KSDAHE, Pemohon Sebut Proses di DPR Minim Transparansi

3 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), pada Jumat 2 Mei 2025. Permohonan itu diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan sejumlah pihak lainnya.  

Agenda persidangan kali ini yaitu mendengarkan keterangan saksi pemohon. Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan sebagai kuasa hukum para pemohon menghadirkan dua orang saksi, yaitu Putu Ardana, sebagai perwakilan masyarakat adat Dalem Tamblingan, Bali dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC). 
 
Saat memberikan kesaksian, Putu Ardana mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses partisipasi yang dijalankan oleh DPR RI saat proses penyusunan RUU KSDAHE. Putu hadir sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi IV DPR pada 10 April 2023.  
 
“Saya diundang oleh Komisi IV DPR, namun hanya 4 orang anggota komisi yang hadir. Sebagai narasumber saya hanya diberikan waktu 10 menit, dan sangat disayangkan setelah undangan tersebut saya tidak pernah mendapat update perkembangan. Tiba-tiba undang-undang ini sudah disahkan,” kata Putu dalam keterangan resminya, Ahad, 4 Mei 2025. 
 
Padahal, kata Putu, sebagai putra daerah juga sebagai warga yang fokus di bidang lingkungan, ia merasa bangga dilibatkan untuk berperan memberikan pandangannya. Karena menurutnya banyak sekali praktik-praktik dan manajemen konservasi yang dilakukan negara itu sangat tidak sesuai dan tidak tepat dilaksanakan di Indonesia. 
 
“Namun, keterlibatannya hanya bersifat simbolis, sekadar memenuhi formalitas partisipasi publik, tanpa ada indikasi bahwa masukannya dipertimbangkan secara substansial dalam penyusunan UU KSDAHE,” kata Putu. 
 
Perwakilan Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, mengatakan hasil pemantauan IPC, keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE di DPR RI minim transparansi, mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pengesahan. Arif secara khusus menyoroti buruknya keterbukaan informasi atas dokumen pembahasan dan risalah rapat serta tidak terpenuhinya prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Draf naskah akademik maupun masukan masyarakat tidak pernah dipublikasikan secara terbuka, baik melalui situs web resmi DPR maupun kanal YouTube DPR. Di web DPR hanya muncul dokumen naskah akademik saja,” kata Arif. 
 
Arif mengatakan, dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, hanya satu dokumen laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah rapat yang semestinya terbuka sesuai Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tidak tersedia sama sekali di kanal resmi DPR. IPC juga telah mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR. 
 
“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link tersebut tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” jelasnya. 
 
IPC menilai proses legislasi UU KSDAHE gagal memenuhi empat aspek partisipasi bermakna yakni Right to Information, Right to be Heard, Right to be Considered, dan Right to be Explained. “Padahal ini ruang untuk melihat apakah masukan stakeholder dipertimbangkan atau tidak,” pungkas Arif. 
 
Uji formil terhadap UU KSDAHE teregister di Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 132/PUU-XXII/2024. Uji formil ini diajukan oleh Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan yang terdiri dari AMAN, Walhi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA, serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane. 

Read Entire Article
Parenting |