5 Tips Membantu Anak Mengatur Emosi agar Lebih Tenang

1 week ago 22

Fimela.com, Jakarta Setiap kali anak menangis keras, menjerit, atau marah sampai tubuhnya gemetar, banyak orang tua refleks ingin menghentikan momen itu secepat mungkin. Perlu diketahui bahwa emosi anak bukan musuh yang harus dilawan, melainkan jendela yang memperlihatkan kebutuhan batin mereka. Saat anak meluapkan amarahnya, ia sedang memberi tanda bahwa ada sesuatu yang sulit ia pahami atau kendalikan.

Alih-alih terburu-buru menenangkan dengan kalimat, “Sudah, jangan marah,” langkah pertama yang lebih bermakna adalah memberi ruang bagi anak untuk merasa. Anak yang emosinya diterima cenderung lebih cepat belajar cara mengatur dirinya. Moms tidak sedang memanjakan, melainkan sedang membekali mereka dengan fondasi regulasi emosi yang akan berguna seumur hidup.

Mengatur emosi merupakan keterampilan yang harus dilatih. Berikut lima tips sederhana yang bisa dicoba dalam membantu anak untuk meregulasi emosinya. Simak selengkapnya di bawah ini.

1. Terima Luapan Emosi sebagai Bagian Proses

Banyak orang tua merasa panik saat anak berteriak atau melempar barang karena marah. Padahal, ekspresi itu bukan berarti mereka “nakal”, melainkan sedang mencari jalan untuk melepaskan energi besar yang muncul dari rasa frustrasi.

Sikap yang bisa Moms tunjukkan adalah menerima perasaan tersebut tanpa langsung menghakimi. Katakan dalam hati, “Tidak apa-apa ia marah. Marah itu manusiawi.”

Dengan begitu, Moms tidak menambah api dengan emosi orang tua sendiri. Anak pun akan menangkap sinyal bahwa perasaannya valid, meski tindakannya tetap perlu diarahkan.

Ketika Moms tenang menerima emosi anak, mereka belajar pesan penting: perasaan apa pun boleh hadir, tapi tidak semua tindakan boleh dilakukan. Penerimaan inilah yang membuat anak merasa aman untuk melepaskan amarah tanpa kehilangan rasa dicintai.

2. Jangan Menyalakan Api dengan Respons Tergesa

Saat anak sudah berada di puncak emosinya, membujuk dengan kata-kata panjang hanya akan terdengar bising di telinganya. Jangan buru-buru meminta anak menarik napas panjang atau mengajaknya berpikir rasional. Otaknya belum siap menerima instruksi semacam itu.

Moms justru perlu menahan diri agar tidak menambah bahan bakar. Hindari komentar yang membuat anak merasa “dilawan” atau dipaksa mengerti di saat ia belum mampu. Semakin banyak kata, semakin besar peluang ledakan makin membesar.

Langkah paling efektif adalah menjaga kehadiran yang stabil. Diam, tenang, dan hadir secara fisik lebih berarti dibanding memberi seribu nasihat ketika anak sedang berteriak. Bukan berarti bersikap pasif, melainkan ini menjadi suatu strategi cerdas untuk tidak memperkeruh badai.

3. Bantu Anak Melepaskan Energi dengan Cara Aman

Emosi yang besar berarti energi yang besar. Jika Moms hanya melarang anak berteriak atau menendang, energi itu akan terjebak di tubuhnya. Solusinya adalah menyediakan saluran aman untuk menyalurkan luapan emosi tersebut.

Coba sediakan “sudut tenang” di rumah. Tidak harus ruangan khusus, bisa berupa pojok kamar dengan bantal besar, boneka empuk, atau bahkan matras untuk berguling. Tempat itu bukan hukuman, melainkan ruang aman untuk melepas energi tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Moms bisa mengajak anak meremas bantal, menggambar dengan coretan bebas, atau merobek kertas sebagai bentuk pelepasan. Aktivitas fisik sederhana membantu anak “mengosongkan” emosi sebelum akhirnya lebih siap untuk diajak bicara.

4. Bangun Sistem Tanggung Jawab yang Konsisten

Emosi anak memang perlu diterima, tetapi bukan berarti tanpa batas. Di sinilah peran Moms penting untuk mengajarkan tanggung jawab. Anak perlu tahu bahwa perasaan boleh hadir, namun perilaku yang merugikan orang lain tetap memiliki konsekuensi.

Sistem tanggung jawab bukan hukuman keras, melainkan aturan konsisten yang bisa dipahami anak. Misalnya, jika ia merusak mainannya karena marah, ia perlu membantu merapikan atau tidak mendapat mainan baru untuk sementara. Tujuannya bukan membuat anak takut, tetapi menghubungkan tindakan dengan akibat secara wajar.

Dengan pola ini, anak belajar bahwa mengatur emosi bukan hanya soal menenangkan diri, tetapi juga menjaga agar tindakannya tidak menyakiti orang lain. Kebiasaan ini akan membentuk rasa disiplin dan kesadaran yang melekat sampai dewasa.

5. Beri Anak Rasa Kendali atas Dirinya

Salah satu alasan anak mudah meledak adalah karena merasa tidak punya kendali. Mereka ingin menentukan sendiri, tetapi aturan orang tua sering kali terasa membatasi. Untuk itu, Moms bisa mengurangi konflik dengan memberi anak pilihan kecil yang membuatnya merasa dihargai.

Contohnya, ketika anak menolak berhenti bermain, alih-alih berkata, “Sekarang juga berhenti!”, Moms bisa memberi opsi, “Mau selesai dalam 5 menit atau 10 menit?” Pilihan sederhana ini memberi rasa kontrol, sehingga anak lebih mudah menerima aturan.

Dengan cara ini, anak belajar bahwa kendali tidak selalu berarti bebas melakukan apa pun, melainkan kemampuan memilih dalam batas yang jelas. Moms pun tidak lagi harus berperang setiap kali membuat aturan, karena anak merasa dilibatkan.

Moms, membantu anak mengatur emosi bukanlah proses sehari jadi. Akan ada masa di mana anak masih meledak hebat, dan itu normal. Yang terpenting adalah bagaimana Moms tetap hadir dengan sikap tenang, konsisten, dan penuh empati.

Ketika anak tahu bahwa emosinya diterima, tindakannya diarahkan dengan konsisten, dan kebutuhannya akan kendali dihargai, ia akan tumbuh dengan kemampuan regulasi diri yang lebih kuat. Anak tidak hanya belajar menjadi tenang, tetapi juga belajar bahwa ia selalu dicintai bahkan saat sedang marah.

Inilah bekal paling berharga untuk masa depannya: kemampuan menghadapi gelombang emosi tanpa kehilangan kendali dan tanpa merusak hubungan dengan orang-orang yang ia sayangi. Semua itu pun dimulai dari langkah sederhana yang Moms berikan hari ini.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Parenting |