Fimela.com, Jakarta Ada fase dalam perjalanan parenting ketika anak tiba-tiba menolak makanan. Dulu ia lahap, kini mulutnya rapat, seakan meja makan bukan lagi tempat yang menyenangkan. Fenomena ini dikenal sebagai gerakan tutup mulut (GTM), momen yang kerap membuat orangtua bingung mencari cara agar anak mau makan kembali.
GTM bukan sekadar soal anak yang rewel atau pilih-pilih makanan. Ada pesan yang sering terlewat: tubuhnya sedang belajar mengenali kebutuhan, emosinya sedang berkembang, atau ia ingin merasa lebih dihargai. Maka, menghadapi GTM perlu kesabaran, empati, dan strategi yang penuh cinta.
1. Dengarkan Bahasa Tubuh Anak, Bukan Hanya Mulutnya
Anak menolak makanan bukan berarti ia keras kepala. Terkadang, tubuhnya sedang memberi sinyal bahwa ia tidak lapar atau butuh jeda. Bahasa tubuh ini bisa berupa mengalihkan pandangan saat disuapi, menutup mulut rapat, atau lebih memilih bermain.
Sebagai orangtua, penting untuk membaca sinyal itu dengan tenang. Memahami bahwa anak punya cara sendiri untuk menyampaikan kebutuhan akan membantu Moms lebih sabar.
Daripada memaksa, cobalah memberikan pilihan waktu, misalnya, “Kamu mau makan sekarang sedikit atau nanti lebih banyak?” Dengan begitu, anak merasa suaranya dihargai dan lebih siap untuk menerima makanan.
2. Ubah Waktu Makan Jadi Ritual Menyenangkan
Bagi anak, makan bukan hanya soal kenyang. Jika suasana terlalu tegang, ia akan mudah kehilangan selera. Sebaliknya, ketika makan dikemas menjadi kegiatan yang hangat, anak akan lebih antusias.
Moms bisa mengajaknya ikut dalam proses sederhana, seperti memilih piring, menata sendok, atau mencuci sayuran. Aktivitas ini membuat anak merasa terlibat, bukan hanya objek yang disuapi.
Perubahan kecil ini mengajarkan bahwa makan bukan kewajiban yang membebani, melainkan momen kebersamaan yang penuh kehangatan. Semakin positif atmosfernya, semakin terbuka pula hati anak untuk menikmati makanan.
3. Sajikan Pilihan, Bukan Paksaan
Anak-anak butuh ruang untuk merasa punya kendali. GTM kadang muncul karena mereka lelah selalu diputuskan tanpa diminta pendapat.
Memberi pilihan sederhana dapat menjadi solusi. Misalnya, “Mau sup jagung atau wortel rebus dulu?” Walau sederhana, anak merasa punya peran dalam menentukan apa yang masuk ke perutnya.
Dengan cara ini, Moms tetap bisa mengarahkan ke pilihan sehat sekaligus mengajarkan anak membuat keputusan kecil. Hasilnya, anak lebih kooperatif, dan waktu makan menjadi lebih damai.
4. Hadirkan Cerita di Atas Piring
Bagi anak, imajinasi adalah kunci. Makanan bisa berubah menjadi sesuatu yang seru jika dihubungkan dengan cerita. Bayangkan brokoli menjadi “payung kecil” yang melindungi tubuh, atau nasi menjadi “gunung salju” yang memberi energi untuk berlari.
Dengan menghadirkan cerita, makan bukan sekadar mengunyah, tapi juga petualangan. Anak akan lebih tertarik mencoba makanan yang sebelumnya ia tolak.
Moms bisa menyesuaikan kisah dengan dunia favorit anak, seperti dinosaurus, pahlawan super, atau petualangan luar angkasa. Imajinasi akan menjadi jembatan manis untuk membuka mulut kecil yang sempat tertutup.
5. Bangun Atmosfer Tenang dan Bebas Tekanan
Tekanan berlebihan di meja makan hanya akan memperburuk GTM. Nada suara tinggi, ekspresi cemas, atau rayuan berulang sering membuat anak semakin defensif.
Ciptakan atmosfer yang rileks. Moms bisa memulai dengan berbincang ringan, memutar musik lembut, atau sekadar tersenyum tanpa mendesak. Anak yang merasa aman akan lebih mudah membuka diri terhadap makanan.
Ketika makan menjadi momen penuh kehangatan, anak perlahan kembali lahap. Moms pun tidak lagi melihat GTM sebagai masalah besar, melainkan bagian dari proses tumbuh kembang yang wajar.
Moms, setiap anak punya ritme sendiri dalam belajar mencintai makanan. Dengan kesabaran, empati, dan pendekatan positif, fase GTM bisa dilalui dengan tenang.
Lebih dari sekadar memberi makan, kita sedang menanamkan rasa aman, penghargaan, dan cinta pada setiap suapan.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.