5 Tips Parenting untuk Membentuk Inner Child Bahagia Sejak Usia Dini

22 hours ago 1

Fimela.com, Jakarta Saat usia anak masih belia (di bawah enam tahun) otaknya menyerap dunia layaknya spons yang haus. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, membentuk cara ia membaca kehidupan kelak. Jika ia tumbuh dalam atmosfer cinta, ia akan menyerap kepercayaan diri dan rasa aman. Namun jika yang ia terima adalah ketegangan, pengabaian, atau kekerasan, maka luka-luka halus itu akan menetap tanpa terlihat, dan membisikkan ketidaknyamanan di masa dewasanya.

Mengutip buku How to Heal Your Inner Child karya Simon Chapple, "Riset menunjukkan bahwa trauma, kekerasan, dan pengabaian anak-anak yang usianya di bawah enam tahun meninggalkan bekas paling mendalam saat mereka dewasa, membatasi kemampuan mereka untuk menjalin hubungan yang aman, mengekspresikan emosi dan perasaan, serta menumbuhkan rasa harga diri secara benar." Luka emosional masa kecil bisa berdampak besar pada proses tumbuh kembang anak. Semua pengalaman di masa kecil bisa saja memengaruhi sistem syaraf, mengarahkan pola pikir, bahkan mengatur kemampuan seseorang untuk merasakan bahagia. Karena itulah, mengasuh dan mendidik anak bukan sekadar bagaimana mengurus anak, tapi bagaimana membentuk inner child yang sehat dan bahagia. Menciptakan inner child yang sehat bisa dimulai sejak dini, dan bisa diawali dengan langkah-langkah sederhana berikut ini.

1. Hadiah Terbesar: Konsistensi Emosional, Bukan Mainan Mahal

Sahabat Fimela, anak-anak kecil belum butuh banyak penjelasan, tapi mereka membaca atmosfer. Ketika orang tua hadir secara konsisten—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional, yaitu anak belajar bahwa dunia adalah tempat yang aman. Ini bukan soal hadir setiap detik, tapi soal mampu menjaga ritme emosi yang stabil: tidak meledak-ledak hari ini, lalu cuek esok hari.

Konsistensi emosional membuat anak merasa tidak perlu menebak-nebak apakah dirinya sedang disukai atau tidak. Ia merasa diterima apa adanya. Dalam kehangatan yang konsisten ini, self-worth mulai tumbuh, tanpa syarat. Ini jauh lebih membekas dibanding hadiah-hadiah mahal yang hanya memberi kebahagiaan sesaat, tetapi tak memberi rasa aman.

Yang dibutuhkan anak adalah ruang batin yang tenang untuk belajar mengenali dirinya. Dan ruang itu hanya bisa tumbuh jika orang tua mampu menjadi jangkar emosi, bukan badai yang tak bisa ditebak. Dengan begitu, anak belajar menavigasi emosinya sendiri dengan lebih stabil di masa depan.

2. Ajarkan Batasan yang Sehat dan Bertanggung Jawab

Banyak orang tua berpikir bahwa mendisiplinkan anak adalah soal menunjukkan siapa yang berkuasa. Padahal, sahabat Fimela, anak justru belajar tentang dirinya dari cara kita menegurnya. Setiap kali orang tua menegakkan batasan dengan hormat dan tanpa merendahkan, anak mendapat pelajaran penting: bahwa dirinya tetap berharga, meskipun melakukan kesalahan.

Batasan yang sehat adalah salah satu fondasi inner child yang bahagia. Ia membuat anak merasa aman, tahu arah, dan belajar mengenali konsekuensi. Tapi ketika batasan datang disertai bentakan atau ancaman, anak justru menyimpan rasa takut. Bukan takut untuk salah, tapi takut tidak dicintai.

Mengajak anak bertanggung jawab bukan berarti mencabut kehangatan. Justru lewat dialog yang jujur dan manusiawi, anak bisa belajar bahwa aturan bukan musuh, melainkan pelindung. Ketika anak belajar bahwa mereka bisa melakukan kesalahan tanpa kehilangan cinta, saat itulah inner child mereka tumbuh kuat dan tidak rapuh menghadapi dunia.

3. Validasi Emosi: Kunci agar Luka Tak Menjadi Trauma

Banyak anak tumbuh dengan keyakinan bahwa menangis itu lemah, marah itu buruk, atau sedih itu harus disembunyikan. Ini bukan hanya merusak kemampuan emosional mereka, tapi juga membuat mereka menjauh dari diri sendiri. Padahal, emosi bukan masalah. Cara kita menyikapi emosilah yang menentukan apakah luka itu akan sembuh atau membusuk.

Sahabat Fimela, validasi emosi bukan memanjakan, melainkan mengenalkan anak pada kamus perasaan mereka. Saat anak sedih karena mainannya rusak, dengarkan. Saat mereka marah karena kecewa, bantu kenali sumbernya. Jangan buru-buru menyuruh mereka diam atau mengganti topik dengan hal lucu. Itu justru mengajari mereka untuk menekan perasaan, bukan mengelolanya.

Anak yang terbiasa divalidasi emosinya akan tumbuh menjadi individu yang tidak takut merasakan. Mereka bisa marah tanpa menjadi kasar, bisa sedih tanpa merasa lemah. Ini adalah pondasi penting bagi mental yang sehat dan inner child yang tidak terabaikan.

4. Kehadiran yang Bermakna: Waktu Masa Kecil Tak Bisa Diulang

Sahabat Fimela, dunia anak kecil diisi oleh detail-detail kecil yang sering kali tak dianggap penting oleh orang dewasa: percakapan imajinatif saat bermain, pertanyaan tak henti-henti, atau momen saat ia hanya ingin memeluk diam-diam. Tapi di situlah keajaiban terjadi. Di situlah mereka merasa “dilihat”.

Kehadiran yang bermakna tidak harus panjang. Lima menit mendengarkan penuh perhatian lebih berharga daripada satu jam bersama tapi sibuk menatap layar. Saat orang tua benar-benar hadir, anak merasa penting. Dan perasaan “aku penting” inilah yang akan membentuk inner child mereka untuk tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah mencari validasi dari luar.

Inner child yang bahagia tidak berasal dari waktu yang lama, tetapi dari perhatian yang utuh. Ia tumbuh dari rasa “aku cukup”, yang muncul saat orang tua menyisihkan waktu untuk hadir bukan sekadar fisik, tapi juga hati dan pikiran.

5. Biarkan Anak Menjadi Dirinya Sendiri, Bukan Cerminan Ambisi Orang Tua

Orang tua yang cerdas tahu bahwa anak bukanlah proyek kesempurnaan. Sahabat Fimela, anak tidak butuh diarahkan menjadi versi mini dari orang tua. Mereka butuh ruang untuk mengenal diri, membuat kesalahan, mencoba, gagal, dan tumbuh.

Membentuk inner child yang bahagia berarti membebaskan anak dari beban harus "jadi siapa". Biarkan mereka menjadi pelukis meski orang tua ingin mereka jadi dokter. Biarkan mereka ceria meski orang tua adalah pribadi pendiam. Ketika anak merasa dirinya diterima, mereka tumbuh tanpa rasa malu terhadap siapa dirinya.

Ambisi yang disisipkan dengan niat “demi masa depan anak” kadang justru menjadi tekanan yang membungkam jati diri anak. Mereka menjadi pintar, tapi tidak bahagia. Berprestasi, tapi kosong. Maka, mari lepaskan ego, dan beri anak haknya untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri—dengan penuh kasih, ruang, dan hormat.

Sahabat Fimela, inner child yang bahagia tidak lahir dari masa kecil yang sempurna, tapi bisa diusahakan melalui masa kecil yang dipenuhi cinta yang nyata, emosi yang divalidasi, dan kehadiran yang otentik. Tidak ada parenting yang tanpa cela, tapi selalu ada ruang untuk belajar menjadi orang tua yang cukup baik dan bukan yang harus selalu sempurna. Dan dari sana, luka-luka bisa dicegah sebelum terjadi. Dari sana, generasi yang lebih kuat dan sehat bisa tumbuh, yaitu dari awal yang sederhana: hati yang hadir.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Parenting |