Fimela.com, Jakarta Tidak semua keberhasilan anak lahir dari pelukan hangat. Ada juga yang tumbuh dari jadwal padat, target tinggi, dan tuntutan disiplin yang nyaris tanpa celah. Gaya asuh ini dikenal sebagai Tiger Parenting, sebuah pola yang memuja prestasi tetapi seringkali mengabaikan keseimbangan batin anak.
Banyak orangtua melihatnya sebagai strategi ampuh untuk melahirkan anak tangguh dan unggul. Hanya saja, di balik rapor yang penuh angka tinggi, ada jejak emosi dan pola pikir tertentu yang membentuk anak hingga dewasa. Moms mungkin tak menduganya, tapi dampak-dampak ini kerap tersembunyi dan baru terasa setelah anak melangkah lebih jauh dalam hidupnya.
1. Anak Cenderung Mengukur Nilai Diri dari Prestasi
Mengutip laman wellspringprevention.org, tiger parenting adalah pola asuh dengan tuntutan tinggi dan disiplin ketat. Berasal dari sebagian budaya Asia, gaya ini menekankan pentingnya prestasi akademik, kerja keras, dan penghormatan pada otoritas. Orangtua sangat terlibat dalam pendidikan serta kegiatan anak, mendorong mereka untuk selalu berprestasi dengan cara yang cukup ketat. Pola ini memang bisa menghasilkan pencapaian tinggi, tetapi juga berisiko menimbulkan tekanan dan stres pada anak.
Tiger Parenting mendorong anak untuk terus berada di puncak. Mereka terbiasa merasa layak dicintai atau dihargai ketika berhasil meraih sesuatu. Moms, dampak tersembunyi dari pola ini adalah anak tumbuh dengan mengikat harga dirinya pada hasil, bukan pada proses atau jati dirinya sendiri.
Ketika sekali saja gagal, dunia bisa terasa runtuh bagi mereka. Kekecewaan itu tidak berhenti pada nilai ulangan yang rendah, melainkan bisa menular ke rasa tidak berharga dalam hidup sehari-hari. Anak akhirnya belajar menakar dirinya semata-mata dari kemenangan, bukan keberanian mencoba.
Hal ini sering menumbuhkan generasi yang tampak berprestasi dari luar, tetapi di dalam menyimpan kerentanan yang besar terhadap kegagalan.
2. Hubungan Emosional Jadi Dingin tanpa Disadari
Moms mungkin percaya kedekatan bisa terbangun melalui keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak, seperti menemani les, mendampingi belajar, hingga mengatur jadwal hariannya. Akan tetapi, anak bisa merasakan interaksi itu lebih seperti "pengawasan" daripada kehangatan.
Seiring waktu, komunikasi emosional yang seharusnya lembut berubah menjadi instruksi. Anak terbiasa mendengar apa yang harus dilakukan, bukan apa yang ia rasakan. Moms mungkin tak sadar, tapi situasi ini membuat anak cenderung menahan cerita pribadinya karena takut dinilai tidak sesuai harapan.
Ikatan keluarga pun tampak rapi di luar, tetapi dingin di dalam. Ada cinta, tetapi jarang terasa nyaman untuk dirasakan.
3. Dorongan Sempurna Menjadi Sumber Kecemasan
Ketika anak terbiasa dengan standar tinggi, mereka menyerap pesan bahwa kesalahan adalah musuh. Dorongan untuk tampil sempurna yang ditanamkan secara terus-menerus membuat mereka rentan mengalami kecemasan.
Bagi sebagian anak, rasa takut gagal bisa menggerakkan energi untuk bekerja lebih keras. Akan tetapi Moms perlu tahu, bagi yang lain, kecemasan ini justru melumpuhkan. Mereka menunda pekerjaan, sulit tidur, bahkan kehilangan keberanian untuk mengambil peluang baru.
Kecemasan yang berakar dari masa kecil sering mengikuti hingga dewasa, membentuk pribadi yang serba ragu meski terlihat berprestasi.
4. Anak Kehilangan Ruang untuk Mengenali Diri
Tiger Parenting memang berhasil mengarahkan anak agar disiplin pada jalur yang ditetapkan. Namun Moms, jalur yang terlalu kaku justru membatasi ruang bagi anak untuk mengenali dirinya sendiri.
Banyak anak yang akhirnya mahir dalam bidang yang dipilihkan orangtua, tetapi asing dengan minat pribadi mereka. Rasa ingin tahu yang alami terpaksa ditekan demi memenuhi target. Akibatnya, mereka sering kesulitan menemukan arah ketika sudah tidak lagi berada dalam pengawasan orangtua.
Pada akhirnya, anak yang dibesarkan dengan cara ini bisa sukses dalam karier, tapi sering bertanya-tanya tentang arti kebahagiaan yang sebenarnya.
5. Pola Kontrol Bisa Menjadi Semacam Warisan
Satu hal yang jarang diperhatikan adalah bagaimana pola pengasuhan bisa diwariskan. Anak yang tumbuh dalam Tiger Parenting cenderung meniru apa yang dialami. Ketika kelak mereka menjadi orangtua, ada kemungkinan besar mereka melanjutkan siklus kontrol ketat terhadap anaknya sendiri.
Moms, ini bukan hanya soal mendidik agar anak patuh. Lebih dalam, ini soal cara memandang hubungan kekuasaan dalam keluarga. Jika tidak disadari, siklus ini terus berulang, menciptakan generasi yang sulit lepas dari bayangan pola asuh penuh tekanan.
Namun, jika anak mendapat ruang untuk refleksi, pola ini juga bisa diputus. Mereka bisa memilih jalan yang lebih seimbang, dengan tetap membawa nilai disiplin tetapi menambahkan kelembutan yang dulu mereka rindukan.
6. Potensi Anak Jadi Seragam dan Kurang Berwarna
Anak yang dibesarkan dalam Tiger Parenting sering diarahkan ke jalur prestasi yang jelas: akademik unggul, musik terlatih, olahraga disiplin. Hasilnya memang luar biasa di bidang tertentu. Di sisi lain, dampak jangka panjangnya adalah banyak potensi anak yang tidak pernah tersentuh.
Moms mungkin tidak sadar, tapi anak yang sebetulnya punya jiwa seni, kepedulian sosial, atau bakat kreatif sering menekan dirinya sendiri demi fokus pada target yang lebih dihargai. Dunia dalam diri mereka menjadi seragam, padahal manusia pada dasarnya diciptakan penuh warna.
Ketika dewasa, mereka bisa merasa ada ruang kosong dalam hidupnya, seolah ada bagian dari diri yang hilang karena tidak pernah diberi kesempatan untuk tumbuh.
7. Anak Terlatih Patuh tapi Tidak Mandiri
Kepatuhan adalah nilai yang sering dibanggakan dalam Tiger Parenting. Anak terbiasa mengikuti aturan, menuntaskan tugas, dan mendengarkan instruksi. Sisi lain dari pola ini adalah minimnya ruang untuk belajar mengambil keputusan sendiri.
Anak yang selalu diarahkan sulit melatih kemampuan menimbang pilihan. Ketika menghadapi masalah yang butuh inisiatif, mereka cenderung bingung atau takut salah. Moms, di sinilah terlihat bahwa kepatuhan tidak selalu sejalan dengan kemandirian.
Padahal, dunia luar rumah menuntut keberanian untuk membuat keputusan, bukan sekadar menjalankan perintah. Jika tidak diimbangi, anak berisiko tumbuh menjadi pribadi yang bergantung pada arahan orang lain.
Tiger Parenting memang punya sisi pro dan kontra. Disiplin, kerja keras, dan dedikasi adalah nilai penting yang memang dibutuhkan anak untuk menghadapi dunia. Akan tetapi, ketika pola ini hadir tanpa kelembutan, anak justru kehilangan hal-hal mendasar yang membentuk kebahagiaan batin.
Moms, yang terpenting adalah kesadaran. Dengan menyadari dampak-dampak tersembunyi ini, setiap orangtua bisa tetap membawa semangat Tiger Parenting, tetapi menerapkannya dengan kasih sayang, empati, dan ruang yang cukup bagi anak untuk bernapas sebagai dirinya sendiri.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.