Apa Alasan Bahlil Minta Impor BBM dari Amerika?

5 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberi sinyal positif terkait dengan rencana pengalihan impor migas kepada Amerika Serikat. Bahlil mengatakan kendala logistik dan distribusi bukanlah hambatan untuk meningkatkan volume impor migas dari negara tersebut.

“Tidak ada alasan untuk tidak mengimpor dari Amerika. Selama ini LPG juga impor dari Amerika Serikat,” kata Bahlil kepada wartawan di kompleks kantor Kementerian ESDM, Jumat, 23 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri mengatakan perusahannya sedang mengkaji peralihan impor migas dari negara lain ke Amerika Serikat. Namun demikian, Simon mengatakan terdapat sejumlah tantangan teknis jika rencana tersebut direalisasikan.

Sejumlah tantangan tersebut, kata dia, meliputi biaya logistik, distribusi, kesiapan infrastruktur hingga aspek keekonomian yang dapat mengganggu ketahanan energi nasional. “Risiko utama adalah dari sisi jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih panjang, yaitu sekitar 40 hari dibandingkan sumber pasokan dari Timur Tengah ataupun negara Asia,” kata Simon saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis, 22 Mei 2025.

Dia mengatakan kajian tentang peningkatan porsi impor migas dari Amerika Serikat merupakan bentuk dukungan Pertamina terhadap negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan negara tersebut. Saat ini, ujar Simor, Pertamina telah memiliki kerja sama rutin dengan Amerika Serikat untuk suplai komoditas migas, yaitu 4 persen dari total kuota impor untuk minyak mentah dan 57 persen dari total kuota impor untuk 57 persen. “Nilainya mencapai hingga US$ 3 miliar per tahun,” ujarnya.

Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhy menilai wacana pengalihan impor BBM ini tak lepas dari tekanan dagang Amerika Serikat, terutama sejak era Presiden Donald Trump. “Amerika ingin menekan defisit perdagangan dengan Indonesia. Karena tidak mungkin kita impor mobil atau produk manufaktur, maka minyak menjadi sasaran,” ujarnya.

Namun, dari sisi ekonomi, kata Fahmy, rencana ini keliru. “Kalau dihitung dari aspek cost and benefit, lebih besar ruginya. Belum lagi risiko rantai pasok yang terganggu,” katanya.

Untuk mengurangi impor BBM, menurut Fahmy, Indonesia harus serius mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), bukan sekadar mengandalkan peningkatan produksi minyak dalam negeri. “Produksi minyak mentah kita makin menurun, sementara konsumsi terus naik. Solusinya ya dengan substitusi energi seperti B40, bukan dengan manuver dagang yang berisiko,” katanya.

Fahmy mengingatkan bahwa tanpa terobosan nyata dalam EBT, ketergantungan pada impor BBM akan terus membebani neraca energi nasional. “Kalau tidak ada langkah serius ke arah sana, semua ini hanya wacana politik yang tidak menyentuh akar masalah,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah berencana menghentikan impor BBM dari Singapura. Ia menyoroti lebih dari separuh atau sekitar 54 persen total impor BBM Indonesia berasal dari negara tersebut. "Singapura bukan produsen minyak, tapi kita malah membeli dari sana," kata Bahlil dalam diskusi bertema Arah Kebijakan Geostrategi dan Geopolitik Indonesia yang diselenggarakan DPP Partai Golkar di Jakarta, Kamis, 8 Mei 2025.

Bahlil juga mengungkapkan bahwa sekitar 34 persen BBM yang diproduksi Singapura dipasarkan ke Indonesia, meskipun negara itu tidak memiliki cadangan minyak signifikan. Ia menilai situasi tersebut sebagai kelemahan strategi energi nasional. "Harga BBM dari Singapura setara dengan harga dari Timur Tengah. Ini bukan hal yang patut dibanggakan. Karena itu, saya putuskan bahwa dalam enam bulan ke depan, Indonesia harus menghentikan impor BBM dari Singapura,” ujarnya.

Read Entire Article
Parenting |