Cocokkah Barak Militer Menjadi Tempat Pendidikan Anak?

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Barak militer adalah bangunan penting yang dirancang untuk menyediakan tempat tinggal sementara atau semi permanen bagi personel militer. Selain sebagai ruang tinggal, barak juga berfungsi untuk mendukung kebutuhan logistik, operasional, hingga menjadi lokasi kantin, fasilitas kesehatan, dan pusat komando.

Barak menjadi bagian penting dalam struktur operasional militer. Dalam bentuk tenda atau tempat perlindungan lainnya, barak memberikan ruang yang aman dan terorganisir bagi pasukan selama pelatihan, operasi, maupun kampanye militer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ensiklopedia Britannica menyebutkan istilah "barak" atau fasilitas perumahan militer umumnya digunakan dalam bentuk jamak. Dahulu, pasukan sering ditempatkan di rumah-rumah pribadi, losmen, atau bangunan lain yang sudah ada, terutama sejak abad ke-18. Praktik ini bahkan dikritik dalam Deklarasi Kemerdekaan AS karena dianggap menyalahgunakan ruang sipil dan berdampak buruk pada moral prajurit.

Sebagai respons, muncul gerakan pembangunan barak permanen di lokasi penempatan pasukan. Pada abad ke-19, barak berbahan bata mulai dibangun di seluruh Eropa. Sementara itu, barak sementara dari kayu atau kanvas digunakan secara massal dalam situasi perang, seperti saat Perang Saudara Amerika dan Perang Dunia II.

Barak militer modern umumnya sudah dilengkapi fasilitas perpipaan, dapur, dan ruang rekreasi untuk mendukung kenyamanan prajurit.

Di tengah berkembangnya kembali wacana penggunaan barak sebagai ruang pelatihan, beberapa kepala daerah di Indonesia memilih pendekatan yang tak biasa: mengirim pelajar bermasalah ke barak militer untuk mengikuti pendidikan semimiliter. Salah satu yang menarik perhatian publik adalah program yang dijalankan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Program tersebut dilaksanakan di dua lokasi milik TNI AD, yakni Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi di Bandung dan Markas Menarmed 1 Kostrad di Purwakarta. Dedi menggandeng TNI dalam upaya membina anak-anak yang dianggap “nakal” atau sulit ditangani oleh sekolah dan keluarga.

Menanggapi kritik itu, Dedi menegaskan bahwa pendekatan ini bukan pelatihan militer, melainkan pembinaan karakter. Ia menyebut banyak orang tua dan guru mulai kewalahan menghadapi anak-anak yang kehilangan arah dan semangat kompetitif. Ia juga menyinggung fenomena kriminalisasi guru yang bersikap tegas, sehingga menurutnya perlu ada dukungan dari institusi seperti TNI dan Polri.

“Ini adalah arah pembinaan yang tidak didapatkan di lingkup kehidupan pribadi mereka di lingkungan rumah mereka. Dan tidak ada pelatihan militer. Jadi masuk barak militer bukan latihan perang-perangan, bukan,” ujar Dedi menegaskan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sejumlah masalah saat mengawasi pelaksanaannya. Salah satu catatan penting dari hasil asesmen adalah adanya anak-anak peserta yang merasa tidak nyaman hingga memilih untuk keluar dari program. Alasan mereka beragam, namun mencerminkan bahwa pendekatan semimiliter belum tentu cocok untuk semua anak.

“Sebagian dari mereka mengikuti diklat ini karena rekomendasi guru BK. Ada yang mengatakan tidak betah, ingin tetap belajar di sekolah, dan bahkan ada yang mencoba keluar dari barak pendidikan dengan alasan ingin membeli makanan ringan,” kata Komisioner KPAI Aris Adi Leksono kepada Tempo, Senin, 12 Mei 2025.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan pendidikan karakter harus dilakukan dengan pendekatan yang benar-benar ramah anak, setiap proses pembinaan harus menghindari segala bentuk kekerasan. “Kami menghargai semangat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mengembangkan pendidikan karakter. Tapi pendekatannya harus berpijak pada prinsip perlindungan anak. Program ini harus menjadi ruang pemulihan dan pemberdayaan, bukan stigmatisasi,” kata Aris.

Sapto Yunus dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Read Entire Article
Parenting |