TEMPO.CO, Jakarta - Dunia mengutuk rencana Israel untuk memperluas pendudukan Israel di Gaza secara permanen pada Senin.
Sekretaris Jenderal PBB (Sekjen PBB) Antonio Guterres menyampaikan kekhawatirannya atas laporan itu, dengan memperingatkan akan lebih banyak kematian warga sipil Palestina dan lebih banyak kerusakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya dapat memberi tahu Anda bahwa sekretaris jenderal khawatir dengan laporan-laporan tentang rencana Israel untuk memperluas operasi darat dan memperpanjang kehadiran militernya di Gaza," kata juru bicaranya Farhan Haq dalam sebuah konferensi pers seperti dilansir Anadolu.
Menekankan bahwa rencana Israel yang dilaporkan "pasti akan menyebabkan lebih banyak warga sipil terbunuh dan kerusakan lebih lanjut di Gaza," ia menambahkan: "Yang penting sekarang adalah mengakhiri kekerasan, bukan lebih banyak kematian dan kerusakan warga sipil Palestina."
"Gaza adalah, dan harus tetap menjadi, bagian integral dari negara Palestina di masa depan," katanya, menegaskan kembali seruan Guterres untuk gencatan senjata segera dan permanen serta pembebasan semua sandera.
Sementara Menteri Luar Negeri Finlandia Elina Valtonen pada kesempatan terpisah menyatakan keprihatinan mendalam atas rencana Israel untuk memperluas operasi militernya di Gaza, dan menyerukan agar segera kembali ke gencatan senjata.
"Sangat prihatin dengan rencana Israel untuk memperluas operasi militernya di Gaza. Saya sekali lagi mendesak semua pihak untuk kembali ke gencatan senjata, dan Hamas untuk segera membebaskan sandera yang tersisa," kata Valtonen pada X seperti dilansir Anadolu.
Ia juga menekankan perlunya akses kemanusiaan, dan mendesak Israel untuk memastikan bahwa bantuan dapat menjangkau warga sipil di daerah kantong yang diblokade itu.
"Israel harus memastikan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza," ia menambahkan.
Adapun Jerman, sekutu terkuat Israel di Eropa, menegaskan sangat prihatin atas rencana Israel untuk menduduki Gaza secara permanen.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Sebastian Fischer mengatakan kepada wartawan di Berlin bahwa laporan media tentang "penaklukan Gaza utara oleh Israel, sangat mengkhawatirkan."
"Saya hanya ingin mengingatkan Anda bahwa G7 telah membuat pernyataan yang jelas pada tahun 2023, menolak pendudukan, pemukiman, dan pengurangan wilayah Gaza, dan juga menekankan bahwa tidak ada solusi yang dapat dilakukan atas nama Palestina," ia menambahkan seperti dilansir Anadolu.
"Gaza adalah milik Palestina, dan dalam hal ini, kami akan menolak pendudukan permanen," ia menegaskan.
Fischer menyerukan "semua pihak untuk melanjutkan upaya serius mereka sekarang untuk gencatan senjata, untuk pembebasan sandera dan untuk dimulainya kembali bantuan kemanusiaan."
"Perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai melalui negosiasi dan diakhirinya penderitaan penduduk sipil dan, tentu saja, pembebasan para sandera," tutur dia.
Sebelumnya pada hari itu, Kabinet Keamanan Israel dengan suara bulat menyetujui rencana untuk memperluas serangan militernya yang sedang berlangsung di Jalur Gaza dan menduduki wilayah-wilayah di dalam daerah kantong itu.
Dalam sebuah pernyataan, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan Kabinet menyetujui "rencana operasional" yang diajukan oleh kepala militer Eyal Zamir untuk "mengalahkan (kelompok Palestina) Hamas" dan untuk memulangkan tawanan Israel yang ditahan di Gaza.
Menurut pernyataan tersebut, rencana tersebut mengharuskan militer "untuk menaklukkan Gaza dan mempertahankan wilayah tersebut di bawah kendalinya."
Channel12 Israel melaporkan bahwa rencana tersebut juga mencakup pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza utara ke selatan.
Lebih dari 52.500 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah tewas di Gaza dalam serangan brutal Israel sejak Oktober 2023.
Pada bulan November, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) atas perangnya di daerah kantong tersebut.